GELORA.CO - Pemerintah Aceh memberlakukan jam malam untuk mengurangi aktivitas warga di luar rumah demi mencegah penyebaran virus corona. Ombudsman Aceh menilai penerapan jam malam di Aceh tidak tepat.
"Masa lalu di Aceh jam malam diberlakukan dalam darurat sipil, yang kemudian meningkat menjadi darurat militer karena keadaan bahaya menghadapi GAM. Tetapi sekarang kan situasinya beda. Yang kita hadapi bukan pemberontakan, tetapi pandemi Corona yang mendunia," kata Kepala Ombudsman Perwakilan Aceh, Taqwaddin, kepada wartawan, Kamis (2/4/2020).
Pemberlakuan jam malam di Aceh dimulai sejak 29 Maret hingga 29 Mei mendatang. Selama ada jam malam, warga tidak dibolehkan berada di luar mulai pukul 20.30 hingga pukul 05.30 WIB.
Taqwaddin menilai pemberlakuan jam malam dibenarkan dalam keadaan darurat sipil. Namun menurutnya pemerintah belum menetapkan status darurat sipil saat ini.
"Ini memang dibenarkan dalam UU Keadaan Bahaya. Makanya, presiden saja belum memberlakukan darurat sipil. Yang dikemukakan presiden beberapa hari lalu, itu baru wacana," jelas Taqwaddin.
Tetapi yang diputuskan sebagai kebijakannya saat ini adalah pemberlakukan darurat kesehatan masyarakat, yang merupakan rezim dari UU Karantina Kesehatan. Inilah hukum positifnya saat ini," sambungnya.
Taqwaddin menyarankan Pemerintah Aceh mencabut pemberlakuan jam malam di Tanah Rencong. Dia menilai pemberlakuan jam malam menimbulkan trauma masa lalu bagi warga Aceh.
"Sebelum terjadinya kesan 'melawan' pusat, sebaiknya kebijakan pemberlakuan jam malam dicabut. Tentang jam malam yang sedang diberlakukan di Aceh, kesan saya telah menimbulkan nostalgia traumatik. Kami teringat pada masa konflik yang pernah terjadi belasan tahun lalu," tuturnya.
Seperti diketahui, setelah adanya pemberlakuan jam malam, jalan masuk kota di Aceh ditutup mulai pukul 20.30 WIB. Seluruh jalan masuk dan di dalam kota Banda Aceh dijaga ketat personel TNI dan Polri.(dtk)