GELORA.CO - Wakil Ketua MPR RI Syarief Hasan menilai Peraturan Presiden (Perpres) nomor 54 tahun 2020 yang mengatur perubahan serta pemotongan anggaran Kementerian dan Lembaga dalam rangka menangani Covid-19 melanggar undang-undang. Pasalnya, hak anggaran berada di legislatif.
"Pada dasarnya niatnya baik namun berpotensi melanggar Undang-undang karena hak Anggaran itu ada pada Legislatif bukan pada Presiden. Sebaiknya Presiden menghargai konstitusi kita," kata Syarief, Selasa (14/4).
Syarief menilai, Peraturan Presiden Nomor 54 tersebut sebaiknya dibatalkan. Selanjutnya, Rancangan Perubahan dibawa ke DPR dan dibahas bersama dengan pemerintah sesuai dengan kebijakan Presiden.
Syarief memastikan, pembahasan bersama DPR juga bisa dilakukan dengan cepat. Pasalnya, seluruh fraksi rata-rata telah menyetujui penganggaran khusus untuk penanganan wabah Covid-19.
"Bisa dibahas dalam waktu yang tidak lama atau beberapa hari saja. Penanganan Coronavirus bisa dilakukan dalam beberapa hari dengan anggaran yang sudah tersedia dulu dalam katagori penanganan Bencana Nasional," kata Syarief menegaskan.
Sebelumnya, Fraksi PKS dan PPP juga mengingatkan Jokowi agar tak melanggar konstitusi.
Politikus PKS Aboebakar Alhabsyi mengatakan, berdasarkan Konstitusi, UUD 1945, pasal 23 ayat 2 menyatakan bahwa APBN itu direncanakan oleh Presiden dan dibahas bersama dengan DPR.
"Artinya setelah disusun oleh Pemerintah, APBN perlu dibahas bersama dengan parlemen. Selain itu pada pasal 23 ayat 1 dikatakan bahwa APBN itu ditetapkan dengan UU, bukan dengan Perpres," kata Aboebakar, Sabtu (11/4).
Menurut Ketua Mahkamah Kehormatan DPR RI ini, seharusnya para ahli hukum di Istana dapat memberikan masukan yang baik untuk presiden. Sehingga, jangan sampai nanti rakyat melihat langkah yang diambil presiden ini inskonstitusional.
"Karena publik melihat apa yang digariskan konstitusi kita tidak ditaati oleh Presiden," kata Aboebakar menegaskan.
Ketua Fraksi PPP DPR RI Amir Uskara menyatakan mendukung jika pemerintah melakukan revisi APBN untuk penanganan Wabah Covid-19. Namun revisi APBN itu tidak boleh dilakukan dengan Peraturan Presiden (Perpres). "Karena akan melanggar Undang-Undang Dasar (UUD), khususnya pasal 23 yang mengatur tentang APBN," kata dia.
Seharusnya, kata Amir Pemerintah bisa melakukan revisi APBN melalui mekanisme revisi UU atau Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu). Mekanisme tersebut sesuai dengan apa yang diamanahkan konstitusi.
Dengan diterbitkannya Perpres tersebut, pemerintah mengubah perkiraan anggaran pendapatan negara menjadi Rp 1.760,8 triliun. Nilainya turun Rp 472,3 triliun dari sebelumnya Rp 2.540 triliun. Sedangkan anggaran belanja negara meningkat Rp 73 triliun menjadi Rp 2.233,19 triliun.
Alhasil, defisit anggaran ditetapkan Rp 852,93 triliun atau 5,07 persen dari PDB. Angka ini naik dari sebelumnya Rp 307,2 triliun atau 1,76% dari PDB.[]