Penulis: Tony Rosyid (Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa)
Semoga pandemi covid-19 segera berlalu. Itu harapan kita semua. Caranya? Pertama, PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) harus diterapkan di seluruh wilayah NKRI. Pemerintah pusat ambil tanggung jawab. Jangan serahkan ke daerah.
Kedua, PSBB mesti dilaksanakan dengan serius. Semua unsur pemerintahan mesti bersinergi untuk dukung PSBB ini. Jangan lagi ada beda pendapat dan kepentingan antara para menteri, dan pusat-daerah. Buang jauh-jauh vested interest. Bukan waktunya berpolitik. Entar kalau pandemi sudah kelar, silahkan berpolitik lagi.
Ketiga, rakyat harus disadarkan dan disiplinkan. Baik melalui aturan, maupun melalui transparansi informasi. Beri pemahaman yang masif kepada rakyat.
Jika tiga hal ini berhasil, kemungkinan akhir mei pandemi selesai. Jika gagal? Pandemi bisa sampai akhir tahun 2020, seperti prediksi Pak Jokowi. Atau bahkan hingga awal tahun 2021.
Kalau pandemi makin lama, maka dampak ekonominya pasti makin dahsyat. Tidak saja pertumbuhan ekonomi yang minus dan inflasi tinggi, tapi rakyat pasti kelaparan.
Survei SMRC, 77 persen masyarakat merasa ekonominya terdampak covid-19. 67 persen diantaranya sangat buruk.
25 persen (50 jutaan) masyarakat kita gak bisa makan kecuali pinjam. 15 persen punya tabungan untuk hidup hanya beberapa pekan kedepan. 15 persen lainnya hanya mampu bertahan untuk satu pekan. Ngeri! Anda termasuk yang mana?
Pekan berikutnya? Pemerintah, lembaga sosial, saudara, teman dan masyarakat sekitar harus bersinergi untuk bisa membantu mereka. Terutama kelompok upper class (kelas atas). 23 persen kelompok yang menguasai 90 persen kekayaan negara ini mesti mau membongkar pundi-pundi kekayaannya untuk bantu masyarakat lower class (kelas bawah) yang terdampak. Kemampuan pemerintah dan kelompok middle class (kelas menengah) sangat terbatas. Saatnya orang-orang yang super kaya ini ambil peran dan ikut menyelamatkan bangsa.
Sepekan ini, kita hampir setiap hari dapat kiriman video terkait penjambretan dan pembegalan. Infonya, ini ulah diantara 36.554 napi yang dilepas Kemenkumham. Mungkin betul. Walaupun tak semuanya. Kok puluhan napi dilepas? Kontroversial! Bukankah mereka masih muda, dan punya record kriminal? Kenapa bukan yang usianya di atas 50 tahun, atau napi koruptor? Kalau usia tua dilepas, kemungkinan gak akan melakukan kriminal lagi. Kalau koruptor dilepas, kecil kemungkinan bisa korupsi lagi. Soal ini, tanya Menkumham.
Kenapa kriminalitas makin sering terjadi? Kelaparan! Ini salah satu faktor utamanya. Kalau ini terus terjadi, dan jumlahnya makin banyak, apalagi masif, maka gejolak sosial tak bisa dihindari lagi.
Setidaknya ada tiga faktor mengapa gejolak sosial terjadi. Pertama, distribusi keadilan yang tak merata. Termasuk keadilan hukum, politik dan ekonomi. Beberapa tahun ini rakyat sudah berteriak soal ini. Meski terkendali, tapi dalam situasi silent cinflict. Ada trigger, rawan pecah! (Baca teorinya Jonathan Turner)
Kedua, kelaparan. Kalau di rumah tak lagi ada beras, mereka jual perabotan. Perabotan habis, mereka minta bantuan dan pinjam sana-sini. Gak ketemu, mereka akan jual barang orang lain. Mencuri, menjambret dan membegal tak lagi bisa dihindari. Hanya untuk makan. Bahaya!
Ketiga, negara melemah dan muncul kekuatan di luar sang penguasa. Kekuatan yang lahir biasanya tak jauh dari lingkaran istana. “Para penghianat” muncul dan memanfaatkan situasi darurat. Ingat 1998? Para menteri mundur, Presiden Soehrto sendirian. Kekuatan di sekitar istana bermain dan memanfaatkan situasi darurat itu. Jeger!
Ini sudah hukum politik. Selama di luar istana tak ada kekuatan superior yang mampu kendalikan infrastruktur politik, maka penghianat di sekitar istana yang akan mengambil keuntungan dalam situasi darurat.
Ketika ekonomi negara terpuruk, rakyat kelaparan dan gejolak sosial masif terjadi, ini situasi sulit bagi bangsa ini. Belum lagi ada sekelompok orang yang profesinya “memancing di air keruh”. Mereka selalu memanfaatkan situasi darurat.
Dalam teori “the function of social conflict”, Lewis Coser menggambarkan sekelompok orang yang mendorong terjadinya gejolak sosial dan memanfaatkan konflik untuk menawarkan peran setelah sebelumnya tersingkir dari arena permainan. Nah, melihat pembegalan akhir-akhir ini dengan pola yang sistemik, patut dicurigai ada pihak yang sedang memancing di air keruh. Kalau ini benar, maka dipastikan mereka adalah orang-orang profesional. Saatnya polisi dan rakyat berkolaborasi.
Seorang filosof dari Slovania bernama Zizek menawarkan terapi komunisme. Dalam buku terbarunya berjudul “Pandemik! Covid-19 Dhakes the World” ia menulis: “Virus corona adalah serangan telak bagi kapitalisme dan merupakan penemuan kembali komunisme”. Sebuah gagasan radikal. Dahi anda pasti berkerut denger ini.
Kritik Zizek kepada kapitalisme, ok. Sepakat. Dan tak ada kelompok yang lebih bersemangat dan sistemik dalam membongkar bobroknya kapitalisme di luar kelompok marxis. Selebihnya, utopis. Dan ciri komunisme-Marxis memang selalu utopis, bahkan sadis.
Kalau semangatnya adalah bagaimana menghadapi musibah ini secara bersama-sama, it’s ok. Semua agama punya solusi yang sama. Kontra kapitalisme. Berbagi adalah cara paling efektif untuk menghadapi kelaparan massal. Dan ini harus dilakukan tidak saja secara masif, tapi mesti terstruktur dan siatemik. Perlu database yang valid sebagai acuan.
Dari database itu akan terlihat jumlah orang miskin lama (OML) dan orang miskin baru (OMB), lengkap sebarannya. Pemerintah, lembaga sosial, dan kelompok upper class mesti bersinergi untuk mengatasi. Tidak jalan sendiri-sendiri. Sekarang, terlihat masif, tapi tak merata. Hanya menyelesaikan sebagian saja, sebagian yang lain tak tersentuh. Kenapa tidak dikordinasikan melalui pengurus RT misalnya. Mereka punya yang lebih tahu kondisi warganya.
Dari diskripsi situasi di atas, jika PSBB menyeluruh di seluruh wilayah Indonesia, pemerintah serius dan masyarakat punya kesadaran, maka kemungkinan pandemi covid-19 akan segera berakhir di bulan Mei. Gejolak sosial gak sampai terjadi secara masif.
Begitu juga jika pandemi terpaksa berlanjut sampai akhir tahun, tapi sinergi pemerintah, lembaga sosial, masyarakat upper class berhasil manjamin ketahanan pangan warga yang terdampak covid-19 sampai akhir tahun, maka gejolak sosial masih bisa ditekan.
Tapi, jika kedua opsi di atas tak dilakukan secara optimal, maka gejolak sosial besar kemungkinan tak bisa dikendalikan. Dan penerapan darurat sipil hanya akan menambah situasi lebih parah lagi. Kita tak ingin ini terjadi. (*)
Jakarta, 20 April 2020