Oleh: Dr. Fuad Bawazier
KETIKA dunia dilanda kasus virus corona dan tiap tiap negara ramai ramai mengumumkan pasien Covid-19 ataupun yang suspect terkena virus corona, Indonesia terus menerus mengklaim tidak ada pasien virus corona atau yang suspect terpapar virus corona. Luar biasa!
Sekejap dunia kagum kepada Indonesia, tapi segera sadar dan menjadi kritis dan meragukan kejujuran pemerintah Indonesia.
Tidak ada alasan Indonesia kebal virus corona. Sebab negara negara di atas wilayah Indonesia seperti Singapura, Malaysia, Thailand, Vietnam, maupun Australia yang secara geografis berada di bawah Indonesia, sudah mengumumkan pasien virus corona secara cukup mendetail.
Padahal Indonesia lebih intens berhubungan dengan China dibandingkan dengan negara-negara tersebut. Dunia dan pasar percaya bahwa Indonesia telah gagal mendeteksi penyebaran virus corona, baik secara sengaja maupun tidak.
Kredibilitas pemerintah di mata internasional meredup, sama seperti keraguan ekonom di dalam negeri maupun di luar negeri pada angka pertumbuhan ekonomi yang selalu stabil di kisaran 5 persen, padahal banyak indikasi ekonominya yang telah berubah.
Keraguan internasional yang berkepanjangan pada gilirannya akan semakin menjatuhkan kredibilitas pemerintah di mata dunia, khususnya di mata pasar dan investor global.
Mengikuti sikap pemerintah pusat, praktis semua aparat Pemda dan rumah sakit ikut-ikutan membebek dan membisu soal virus corona dengan selalu mengatakan sudah siap mendeteksi dan menangani pasien virus corona.
Kembali pasar berdecak kagum pada kehebatan Indonesia, maupun mereka yang berdecak “gombalmu”.
Di tengah-tengah keraguan atau tuduhan kebohongan pada klaim “kekebalan” Indonesia, tiba-tiba Gubernur DKI Anies Baswedan mengumumkan pasien yang sedang dipantau dan diawasi dari kemungkinan terpapar virus corona. Pasar mengapresiasi pada transparansi dan keberanian Gubernur DKI.
Dinilai bertatakrama internasional. Langkah berani, jujur, dan menunjukkan kesiapan DKI terhadap wabah virus corona.
Sayangnya esok harinya dibantah oleh Menkes Terawan. Masyarakat menjadi bingung pernyataan mana yang benar? Permainan politik apa lagi? Siapa mau menjatuhkan kredibilitas siapa?
Tapi esoknya lagi, Presiden Jokowi resmi mengumumkan adanya 2 orang pasien yang positif terjangkit virus corona di Depok, dan aparat DKI, termasuk Gubernurnya, diam-diam pastilah tersenyum senyum sebab telah duluan mengumumkan, lebih berani, transparan dan jujur dalam menghadapi kenyataan.
Bahkan DKI tampak lebih sigap dengan menyiapkan armada dan timnya untuk menjemput pasien yang merasa mempunyai indikasi terpapar virus corona. Agar tidak gaduh dan saling tuduh, anggap saja hanya sedikit miskordinasi atau miskomunikasi antara Menkes dengan Gubernur DKI.
Setelah Presiden Jokowi mengumumkan ada 2 pasien corona, sikap Pemda-Pemda selain DKI, pastilah akan lebih berani dan jujur, mengikuti langkah Gubernur DKI. Tidak lagi asal menyanggah, sebab masyarakat semakin kritis, lebih-lebih dengan terbukanya informasi melalui medsos.
Pernak-pernik virus corona ini masih akan panjang, dan jujur saja kesiapan Indonesia masih diragukan oleh masyarakat internasional. Tapi ini tantangan dan ujian bagi kita semua.
Masih banyak silang informasi dan silang cerita dibalik isu corona. Asal usulnya saja masih tetap jadi perdebatan. Mulai cerita berawal dari pasar hewan, laboratorium China yang bocor, bagian dari perang intelijen dan perang ekonomi, perebutan menjadi supremasi dunia antara kulit putih (USA) dengan kulit kuning (Cina), sampai spekulasi upaya penggagalan program OBOR.
Di level nasional, juga banyak spekulasi yang beredar. Dicabutnya status Indonesia dari daftar GSP oleh pemerintah Amerika Serikat sehingga ekspor Indonesia ke USA tidak lagi mendapatkan keistimewaan GSP atau bea masuk.
Semata-mata untuk memenuhi syarat perubahan status bea masuk yang akan dikenakan terhadap ekspor dari Indonesia, mau tidak mau USA harus mengklasifikasikan Indonesia sebagai negara maju, bukan lagi negara berkembang.
Padahal policy USA ini merugikan Indonesia, bahkan banyak yang menilai sebagai hukuman karena Indonesia terlalu dekat dengan China. Tapi bagi yang dungu, meminjam istilah Rocky Gerung, ini adalah bukti bahwa Indonesia sudah menjadi negara maju.
Sekarang juga mulai gencar didengungkan ramalan (propaganda?) bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2020 akan 4,7 persen. Dengan asumsi bila pertumbuhan ekonomi China turun dengan 1 persen, maka ekonomi Indonesia akan turun 0,3 persen. Jadi dari 5 persen menjadi 4,7%.
Aamiin ya Robbalalaamiin bila itu betul. Kita semua pasti Happy. Tapi saya yakin ekonom domestik dan asing akan kembali tidak mempercayai angka 4,7 persen itu. Dengan berbagai indikasi dan pendekatan, kemungkinan di bawah 4,7 persen. Ini akan menjadi tantangan serius bagi BPS agar kredibilitasnya terjaga.
Isu lain terkait virus corona adalah akankah ekonomi dunia khususnya Indonesia mengalami kontraksi, resesi, dan krisis?
Pertumbuhan ekonomi dunia tahun 2020 jelas menurun seperti dikatakan IMF dan Bank Dunia. Ekonomi Indonesia tidak terkecuali mengalami kontraksi. Kuartal IV/2019 kontraksi 1,74 persenm, padahal dampak virus corona belum ada; baru ada virus korupsi, dan virus birokrasi yang ribet, lelet, dan mahal alias high cost economy.
Jadi dapat dipastikan Kuartal I/2020 akan kontraksi lebih besar lagi. Karena dua kuartal berturut kontraksi, by definition atau konsensus, dinamakan resesi. Dan ini akan memacu krisis keuangan yang intinya karena pasokan dolar ke ekonomi Indonesia semakin kedodoran dibandingkan dengan demand-nya.
Ekspor terus menurun, neraca perdagangan dan transaksi berjalan sama-sama defisit. Foreign direct investment (FDI) maupun investasi portofolio asing cenderung menurun, bahkan sedang terjadi capital outflows.
Kekurangan pasokan dolar ke pasar Indonesia ini akan mengulangi kejadian tahun 2018 waktu kurs rupiah ke dolar AS mencapai Rp 15.300 - karena supply dolar minus 10 miliar dolar AS.
Sekarang ini potensi kekurangan pasokan dolar untuk tahun 2020 diperkirakan melebihi tahun 2018. Thus, kurs rupiah akan tertekan atau terpuruk. Inilah awal krisis keuangan yang akan menyeret atau menggoyahkan pasar modal.
Jurus mabok utang ala Menkeu Sri Mulyani tampaknya sudah tidak mujarab lagi. Sudah tumpul dan berbahaya. Investor asing mulai ragu-ragu membeli Surat Utang Negara (SUN). Logikanya kurs rupiah akan terpuruk lebih parah, tapi untungnya bunga dolar diturunkan dan ada pelonggaran dolar oleh pemerintah USA atau The Fed sehingga keperkasaan dolar menurun.
Investor asing di Indonesia yang akan kabur juga “mengatur” ritme kurs rupiah agar tidak terlalu jatuh, agar mereka tidak terlalu rugi. Tanpa “bantuan” dua faktor ini, kurs rupiah terjungkal parah.
Kabarnya, selama Januari dan Februari tahun ini mayoritas SUN dibeli oleh BI, sebesar Rp 70 triliun. Terima kasih kepada BI sebab sumber lain seperti dana pensiun dan asuransi serta dana haji sudah kering, sudah disedot SUN sebelumnya. Dipakai untuk berbagai macam target tertentu seperti proyek infrastruktur.
Dengan bantuan BI tadi, APBN “selamat” meski defisitnya melampaui targetnya. Saya tidak bisa membayangkan bila BI tidak membeli SUN itu. Pastilah terjadi krisis APBN.
Begitu juga utangnya. Bisa gagal bayar. Lebih-lebih tahun 2020 ini sekitar Rp 426 triliun utang yang jatuh tempo. Maklum utang yang jatuh tempo dibayar dengan utang baru.
Celakanya, penerimaan pajak Januari-Februari 2020 lebih rendah dari periode yang sama tahun 2019, padahal ekonomi katanya masih tumbuh 5 persen.
Sulit bagi saya menjelaskan ini karena dari pengalaman lalu-lalu, yang normal, seharusnya penerimaan pajak naik 2-3 kali lipatnya pertumbuhan ekonomi. Ini kok malah turun ya?
Makanya dulu-dulu kalau pertumbuhan ekonomi 6-7 persen, penerimaan pajak naik 15-20 persen.
Karena penerimaan pajak turun, belanja APBN juga turun.
Januari 2020, belanja APBN 9,1 persen di bawah belanja Januari 2019. Nah bila sudah tampak ekspor turun, belanja negara turun, investasi asing (FDI dan PORTOFOLIO) berpotensi turun, manufakturing menciut dan PHK mencuat, most likely menimbulkan penurunan demand.
Berarti memasuki krisis ekonomi melengkapi krisis keuangan. Rule of thumb, krisis ini akan berpotensi menjelma menjadi krisis politik. Kapan? Tergantung banyak faktor, yaitu:
1. Seberapa buruk dan lamanya penyebaran virus corona di dunia. Meski di China “menurun” tapi absolut yang terjangkit dan mati masih meningkat. Celakanya di negara-negara lain sedang gencar-gencarnya alias baru mulai terserang virus corona.
2. Adakah stimulus dan kreativitas yang bisa di ciptakan pemerintah selain bikin utang? Paket-paket kebijakan ekonomi yang lalu tumpul alias hanya di atas kertas belaka. Sedangkan Omnibus Law itu kontroversial dan kemungkinan besar kontraproduktif, bahkan melanggar UUD 1945. Masa akan dilanjutkan?
3. Tergantung pula kepada kemampuan pemerintah mengelola virus corona dari faktor nonkuantitatif seperti ketakutan, kepanikan, dan kordinasi.
4. Bisakah pemerintah mereformasi APBN untuk memperbaiki dan membersihkan dari misalocation, fat-fat atau lemak-lemak, markup, pemborosan dan anggaran fiktif. Reformasi APBN ini amat diperlukan dan kasat mata, tapi memerlukan keberanian tersendiri. Sebab semua pihak yang terlibat sebelumnya akan merasa malu aibnya dibuka. Padahal selama ini sudah memuja muji karyanya sendiri. APBN yang prudent dll. Bahkan ada yang sampai mendapatkan atau bergelar ini itu.
Last but not least, bisa jadi virus corona ini “disyukuri” oleh pihak-pihak tertentu, seperti mereka yang bisa menggunakannya sebagai kambing hitam mandulnya kebijakan ekonomi pemerintah. Atau yang bisa memperoleh berkah lisensi impor alat kesehatan maupun komoditas seperti bawang putih dan gula demi menjaga kestabilan pangan. Atau yang tega menimbun masker demi keuntungan ekstra.(*)