Oleh: Anthony Budiawan
Wabah virus corona semakin mengkhawatirkan. Jumlah orang terinfeksi naik tajam. Jumlah orang terinfeksi per 26 Maret 2020 mencapai 893 orang. Kemudian pada 27 Maret 2020 bertambah menjadi 1.046 orang. Artinya, bertambah 153 orang dalam satu hari, dan terus meningkat. Menandakan penyebaran penyakit tidak terkendali.
Yang lebih mengkhawatirkan, jumlah pasien meninggal jauh lebih besar dari yang sembuh. Jumlah pasien meninggal 87 orang dan pasien sembuh hanya 46 orang, per 27 Maret 2020. Jumlah persentase meninggal, dan perbandingan dengan yang sembuh, menjadi salah satu yang tertinggi di dunia.
Melihat data statistik seperti ini, banyak pihak asing mempertanyakan, atau tepatnya meragukan, kemampuan dan kesiapan Indonesia dalam menghadapi wabah ini. Beberapa kedutaan asing mengimbau warganya untuk segera meninggalkan Indonesia. Sangat Ironi, ketika kita masih mau menerima asing di negeri yang indah ini, malah perwakilan negara asing menyerukan warganya meninggalkan Indonesia. Kita di asingkan oleh negara tetangga. Kita di lockdown oleh dunia.
Karena mereka ragu dengan fasilitas kesehatan Indonesia, yang katanya jauh di bawah standar internasional. Jumlah dokter, jumlah perawat, jumlah rumah sakit khusus, jumlah ruang isolasi, jumlah tempat tidur rumah sakit, jauh dari memadai. Jauh di bawah kemampuan negara-negara tetanga. Test kit dan APD (Alat Pelindung Diri) juga tidak memadai. Sudah ada 6 dokter meninggal akibat tertular dan terinfeksi. Bahkan menurut salah satu studi oleh institusi berbasis di London, kasus Covid-19 yang terdeteksi di Indonesia hanya sekitar 2 persen dari yang diperkirakan seharusnya. Menurut studi tersebut, jumlah terinfeksis ini realitanya bisa lebih dari 34 ribu orang, mungkin sekarang sudah melonjak lagi.
Kompas.id pada 27 Maret 2020 menulis berita “Tanpa Tindakan Drastis, Separuh Penduduk Indonesia Berpotensi Terinfeksi Covid-19 Sebelum Lebaran”. Sangat menakutkan. https://kompas.id/baca/humaniora/2020/03/27/tanpa-tindakan-drastis-separuh-penduduk-indonesia-berpotensi-terinfeksi-covid-19-sebelum-lebaran
Di lain pihak kita belum melihat pemerintah bergerak cepat. Bahkan sangat lambat sekali. Di tengah pandemi seperti ini diperlukan tindakan yang cepat. Bukan wacana saja. Dan bukan kebijakan yang bisa membuat masalah baru. Misalnya pengumuman pembebasan pembayaran bunga dan cicilan untuk waktu tertentu sudah menuai kegaduhan. Karena belum dikoordinasikan siapa yang akan menanggung likuiditas tersebut. Apakah artinya penundaan tersebut ditalangi dulu oleh pemerintah? Oleh karena itu, sangat penting setiap kebijakan harus disiapkan langkah teknisnya agar tidak menimbulkan kegaduhan.
Saat ini, yang terpenting dari segalanya, pemerintah harus segera meningkatkan kemampuan fasilitas kesehatan untuk menyelamatkan korban terinfeksi, untuk memberantas wabah Covid-19, dan memutus mata rantai penyebaran / penularan. Rasio sembuh harus ditingkatkan signifikan. Rasio meninggal harus diturunkan secara drastis hingga nol. Ini target yang tidak bisa ditawar. Dan ini hanya bisa terjadi kalau pemerintah pusat, dan pemerintah daerah, meningkatkan fasilitas kesehatannya secara drastis.
Untuk itu, pemerintah perlu uang. Dan uangnya ada. Pemerintah per akhir Februari 2020 masih ada uang di kas lebih dari Rp 270 triliun. Terdiri dari Saldo Anggaran Lebih (SAL) per akhir 2018 sebesar Rp 175,24 triliun, SiLPA (Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran) 2019 sebesar Rp 46,5 triliun, dan SiLPA 2020 (akhir Februari) sebesar Rp 50,13 triliun. Dan uang ini idle, alias nganggur. Kenapa pemerintah tidak menggunakan uang ini untuk memerangi wabah Covid-19 sejak awal pandemi? Malah pemerintah berwacana meminjam uang dari institusi internasional. Ada apa? Masyarakat patut bertanya.
Keterlambatan memerangi wabah Covid-19 yang mengakibatkan korban jiwa berjatuhan karena faktor kesengajaan dapat dituduh sebagai kejahatan atas kemanusiaan. Dan tidak menggunakan uang yang nganggur tersebut dapat saja dianggap sebagai faktor kesengajaan. Jangan sampai ini terjadi.
Pemerintah bukannya menggunakan uang yang berlimpah tersebut secara optimal, ini malah sibuk mencoba menggali utang luar negeri, melalui institusi internasional seperti IMF yang mempunyai catatan hitam terhadap perekonomian Indonesia pada krisis 1998. Modusnya seolah-olah IMF menawarkan bantuan, yang tentu saja maksudnya utang.
Selain itu, pemerintah malah mencoba menggalang dana sumbangan dari pengusaha, dan juga masyarakat. Sedangkan pengusaha dan masyarakat sendiri lagi susah dan perlu dibantu, kok bisa pemerintah minta sumbangan dari mereka? Yang menjadi kontroversial, pemerintah malah mau menerbitkan recovery bond untuk memberi dana pinjaman kepada para pengusaha. Jadi, semua ini membuat masyarakat curiga.
Selain bidang kesehetan di atas, pemerintah memang wajib membantu masyarakat dan perusahaan yang terdampak pendemi Covid-19 melalui paket stimulus. Masyarakat harus diberi bantuan sesegera mungkin. Khususnya mereka yang berpenghasilan harian dan terkena PHK. Mereka ini sekarang sudah sulit keuangan, dan sulit makan. Jangan sampai terjadi kerusuhan karena perut lapar. Perusahaan wajib dibantu untuk dapat bertahan hidup dan mengurangi PHK lebih jauh. Dan jangan lupa, institusi keuangan jangan sampai kekurangan likuiditas karena di satu sisi pembayaran debitur banyak yang macet, dan di lain sisi nasabah banyak yang menarik tabungannya. Di sini OJK dan BI harus segera hadir.
Semua kebutuhan pendanaan di atas harus diupayakan dari sumber dalam negeri. Dan itu layak dan bisa dilakukan. Uang pemerintah masih banyak, dan Bank Indonesia siap intervensi. (*)