GELORA.CO - LSM asing membawa duit berkarung-karung dibagikan kepada fraksi-fraksi di DPR untuk amandemen UUD 45.
“Rapat-rapat selanjutnya sudah besar sekali pengaruh dari kelompok-kelompok LSM bahkan LSM luar negeri di dalam rapat-rapat itu,” kata Mantan Rektor UGM Prof Sofian Effendi dalam peluncuran buku “Sistem Demokrasi Pancasila” di Kampus Pascasarjana Universitas Nasional, Jalan Harsono, Rangunan, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, Rabu (11/3/20).
Sofian menduga pada saat MPR tahun 1999 memutuskan untuk melakukan perubahan terhadap UUD dengan cara amandemen itu adalah melalui kajian oleh ahli-ahli Indonesia tapi itu hanya pada rapat pertama MPR.
Sofian melanjutkan, dalam rapat-rapat Panita Ad Hoc (PAH) di MPR juga dihadiri oleh orang-orang yang bukan warga negara Indonesia.
Dan, LSM National Democratic Institute (NDI), kata Sofian, membawa uang “berkarung-karung” ke dalam gedung MPR dan membag-bagi uang itu kepada semua 11 fraksi.
NDI juga membawa konsep-konsep UUD itu terutama pasal tentang hak asasi manusia (HAM). Pasal 10 UUD yang diamandemen, lanjut Sofian, itu caplokan dari United Nation Convention Human Right.
“Jadi agak aneh UUD kita ini, karena bunyinya bukan lagi warga negara tetapi orang, orang, orang. Loh saya ini warga negara,” tegas Sofian.
Sofian mempertanyakan, UUD itu biasanya mengatur hak dan kewajiban warga negara, atau mengatur hak dan kewajiban dari siapapun orang yang ada di Indoensia?
Sebab itu, Sofian menduga, ini semua memang sengaja diciptakan untuk mengaburkan konsep-konsep tersebut. Termasuk juga untuk mengaburkan kewenangan pemerintahan dan negara, untuk mengaburkan sistem politik dan ekonomi Indonesia.
“Sehingga tidak jelas lagi bahwa ekonomi kita itu ekonomi yang berazaskan kekeluargaan dan kerkeadilan sosial karena dimasukkan semangat-semangat individualisme di dalam pasal 3 dan 4 dan demikian juga di dalam sistem sosial sudah dimasuki pasal-pasal itu,” tuturnya.
“Saya dulu sebagai ilmuan menduga-duga bahwa saya mendegar ada itu pihak dari luar negeri yang terlibat menggubah UUD itu tapi untungnya sering perjalanan Yogya-Jakarta. Di pesawat saya ketemu dengan seorang pimpinan partai, anak muda, dulu ketua senat UGM, saya tanya ‘mas saya ini sebagai ilmuan hanya bisa menduga-duga saya tidak bisa menuduh dengan tegas bahwa ini ada intervensi asing di dalam amandemen UUD kita itu, jadi hanya begitu-begitu saja diantara kawan saya bisa ngomong-ngomong, tapi kita enggak punya bukti nggak bisa menuduh’, tetapi dengan kebetulan kita duduk berdekatan, saya tanya, ‘Pak saya ini pada waktu saya selesai dari UGM saya masuk partai oleh pimpinan partai saya ditugaskan untuk ikut panja PAH I itu dan disitu saya dengan mata saya sendiri melihat bagaimana uang berkarung-karung masuk ke gedung MPR dan ini kemudian pasal-pasal yang kemudian mereka ingin masukkan itu dimasukan’,” ungkapnya.
Pada intinnya, tutur Sofian, sidang MPR masa bakti 1999-2002 menetapkan bahwa amandemen UUD 1945 sesuai ketentuan Pasal 37. Karena Pasal 37 yang diamandemennya di tahap ketiga yang sebenarnya sudah disepakati tidak diubah. Namun, sesal Prof Sofian, pada PAH III masuk dan diubah sehingga MPR itu atau struktur dari kekuasaan negara tidak lagi ada lembaga pemegang pelaksana kedaulatan rakyat.
“Karena diubahnya pasal itu, tapi pada tahap I dan II masih ada, disitu ada 11 fraksi MPR yang menyepakati amandemen UUD dilakukan dengan syarat sebagai berikut: Pertama, tidak mengubah pembukaan UUD, kedua, tidak merubah NKRI dan bentuk negara, ketiga Amandemen dilakukan dengan cara adendum bukan merubah teks aslinya,” tukasnya.(sn)