Oleh: Yudhi Hertanto
HARI-hari ini, batuk dan bersin adalah musuh kita. Di samping itu, cuci tangan juga menjadi rutinitas baru. Pun memakai masker, merupakan bentuk adaptasi dari situasi yang tidak terhindarkan.
Corona telah berubah menjadi pandemi global. Mengubah perilaku sosial, kecuali kepercayaan politik.
Pemerintah, baik di tingkat pusat dan daerah telah bergerak. Meski koordinasi adalah hal yang terbilang sulit di negeri ini. Semestinya, terdapat hal yang sama, Corona membentuk diri sebagai simbol kecemasan sosial.
Pada persoalan penanganan medis, maka pemerintah telah membentuk satuan tugas dan juru bicara terkait wabah Corona di tingkat nasional. Sementara itu, perlu dipahami bila di luar aspek teknis medis, hal yang menjadi sangat vital adalah aspek bias informasi.
Infodemic terjadi. Sebuah situasi di mana berita dan informasi berlangsung secara simpang siur. Tidak bisa terkonfirmasi kebenarannya. Bahkan berita bohong dihembuskan untuk kepentingan tertentu. Masyarakat dibanjiri dengan informasi keliru. Kepanikan melanda.
Terjadinya kekosongan informasi yang benar dalam situasi pandemic, membuat setiap kita membangun rasa curiga. Ketidakpercayaan muncul dari kekhawatiran, dan sulitnya mendapatkan informasi utuh serta terpercaya. Terlebih kehadiran teknologi menambah persoalan baru, karena kecepatan distribusi informasi itu disuguhkan, bahkan tanpa proses verifikasi.
Di saat seperti ini, harus ada upaya yang dilakukan dalam kerangka menciptakan ruang kepercayaan publik atas hal-hal yang benar. Problemnya, kita memang telah terjebak dalam polarisasi politik yang sangat mengkhawatirkan.
Bahkan di saat konflik di Timur Tengah yang mereda (Kompas, 16/3) seiring dengan merebaknya virus Corona, kita masih sibuk bertikai tidak berkesudahan. Sebuah ironi terjadi.
Mungkin saja prinsipnya Tiji Tibeh -mati siji mati kabeh, kita seolah tidak hendak keluar dari persoalan yang mengancam nyawa banyak orang ini, dibandingkan dengan membela kepentingan politik praktis yang sesaat. Politik memang menjadi harga mati di negeri ini!
Sulit untuk saling menguatkan, apalagi memberi dukungan. Sementara perang narasi terjadi di sosial media, disisi lain tenaga medis kita berjibaku berhadapan dengan potensi paparan risiko Corona. Tidakkah situasi ini mengerikan? Kita kehilangan empati dan simpati kemanusiaan, hanya untuk memenangkan kelompok.
Penertiban Buzzer
Sudah saatnya proses move on politik ini benar-benar dimulai. Kepentingan kelompok yang terfragmentasi dalam proses politik terdahulu hendaknya diselesaikan. Setidaknya, untuk berdamai sementara waktu dalam rentang periode kali ini, yang terkait langsung dengan momentum potensi kehilangan nyawa.
Berkelahi tiada henti dalam urusan politik hanya menghabiskan energi. Bahkan sebelum berhadapan dengan Corona, kita telah kehilangan stamina. Daya tahan harus ditopang daya beli. Kalau kemudian kebijakan dipengaruhi oleh opini keliru yang dibentuk para buzzer, tentu sulit dibayangkan.
Pemerintah pusat mendelegasikan kepada kewenangan daerah. Aspek desentralisasi penanganan terjadi. Sebagai otoritas tertinggi, komunikasi dan koordinasi harus dikembangkan bersama dengan seluruh daerah di tanah air. Kebisingan sosial media, tidak mencerminkan kepentingan publik.
Noise terus didengungkan, sementara voice publik justru terhalangi. Kematian bukan hal baru bagi kelompok marjinal yang tidak tersentuh pada banyak kebijakan yang tidak memihak. Corona ada dalam keseharian kehidupan kita.
Hal yang seharusnya mampu dijaga adalah modalitas sosial, yakni persatuan dan kebersamaan. Jadi, ketimbang membiarkan para buzzer terus bekerja, sebaiknya ada upaya untuk me-lockdown mereka. Level kritik tentu berbeda dengan gangguan kebijakan, periksa tone dan konstruksi sentimennya.
Sejatinya, saat ini semua pengambil keputusan pada setiap tingkatan sedang dirundung kegagapan. Berbagai konsekuensi berpotensi terjadi, dalam situasi kemelut yang tidak terprediksi ini. Outbreak Corona yang mendunia menjadi ancaman pada berbagai sektor kehidupan manusia.
Satu hal yang paling nyata, dan dalam urutan pertama dan terutama, terletak pada ancaman kehilangan nyawa. Di titik itulah, kita harus melihat semua upaya yang ditujukan bagi mencegah jatuhnya nyawa manusia, patut mendapatkan dukungan.
Karena itu, ada beberapa hal penting untuk dijadikan panduan dalam literasi informasi mencegah perluasan infodemic. Pertama: dapatkan informasi dari sumber terpercaya, institusi atau siaran resmi. Kedua: rekonfirmasi berita dengan melakukan pengecekan informasi tersebut, checking google. Ketiga: tahan sharing di sosial media, sebelum mencerna isi berita.
Buzzer bisa jadi tengah melakukan setting opini, tetapi kita sebagai publik dapat membaca kemana arah angin akan berhembus dan dengan kepentingan seperti apa. Karena itu, dalam posisi politik seperti apapun, pada situasi seperti ini, sudah selayaknya kita memberikan dukungan dengan penuh kepercayaan pada otoritas terkait, untuk melaksanaan amanat tugas melindungi seluruh warga bangsa.
Jarak Dan Wajah Sosial Kita
Social distancing -membuat jarak dari interaksi sosial secara fisik, dipilih dibandingkan dengan opsi lockdown daerah, tentu perlu diapresiasi. Pada prinsipnya perangkat kerja terkait, harus berkerja secara terfokus dan terkonsentrasi pada upaya reduksi penularan lebih luas. Situasi ini tidak mudah.
Mengatur perilaku berjuta orang dalam satu waktu, jelas tidak segampang membalik telapak tangan. Maka himbauan tersebut membutuhkan waktu efektif untuk dapat sampai dan terdistribusi secara meluas kepada publik. Sehingga, unggahan para buzzer soal masih adanya keramaian publik, hingga antrian sarana transportasi adalah kekeliruan yang teramat fatal.
Pertama: kebijakan terkait penanganan baik nasional maupun daerah, diambil pada periode akhir pekan. Dengan begitu, butuh waktu penyesuaian diberbagai kantor dan pusat kegiatan untuk mengadaptasikan dirinya. Kedua: pilihan yang diambil adalah social distancing yang relatif lebih longgar dalam interaksi dibanding lockdown, maka aktifitas publik tentu masih bergerak.
Ketiga: tidak semua kegiatan bisa dilakukan dengan melakukan kerja jarak jauh. Bahkan untuk mengambil keputusan yang sah, harus ada tanda tangan basah pada dokumen. Bayangkan?
Wajah sosial kita memang tengah compang-camping, karena kepentingan politik. Jarak sosial kita telah terbuka dalam makna sesungguhnya, antara kami dan kalian sebagai entitas politik yang tidak bisa bersatu. Buzzer mengail celah dalam situasi ini. Asalkan bukan dari kita, maka seranglah, itu prinsipnya.
Pemerintah dalam hal ini, baik pusat maupun daerah perlu untuk segera menjabarkan apa yang telah ditetapkan sebagai protokol kebijakan. Implementasi ketat berbagai protokol tersebut. Khusus terkait dengan aspek komunikasi, dibutuhkan aspek verbal dan non verbal berhadapan dengan situasi krisis.
Kemampuan terbesar melawan Corona, selain mengatasi bertambah luasnya sebaran virus, juga berhadapan dengan misinformasi bahkan disinformasi yang disengaja untuk berbagai kepentingan tertentu, di luar upaya penyelematan nyawa manusia.
Kita ingin segera keluar dari situasi sakit ini. Corona membuat kita terjangkit penyakit. Tetapi kedengkian politik membuat kita jatuh dalam situasi berpenyakit secara sosial. Untuk penyakit yang terakhir, mungkin juga hukuman bagi para buzzer, adalah menjadi pekerja sosial di lokasi karantina pasien Corona.
Hal itu menjadi balasan sepadan serta setimpal, dibandingkan dengan penyesatan informasi yang dilakukan. Tepat di saat kita justru membuhkan kekuatan bersama untuk sembuh dan melawan Corona. Buzzer enyahlah! (*)