GELORA.CO - Presiden Joko Widodo (Jokowi) lebih memilih kebijakan pembatasan sosial skala besar daripada karantina wilayah dalam penanganan virus Corona (COVID-19). Pihak Istana menjelaskan salah satu pertimbangan Jokowi adalah penerapan lockdown yang tidak efektif di India dan Italia.
"Kan sudah ada di dalam UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, di sana kan ada urutannya tuh, karantina rumah, karantina rumah sakit kemudian ada pembatasan sosial skala besar baru kemudian karantina wilayah. Dan presiden melihat kalau karantina wilayah itu dengan kasus aja India, kasus Italia, itu ternyata menimbulkan kekacauan sosial, kalau tidak direncanakan secara terukur, mengingat contoh-contoh tersebut presiden menganggap Indonesia sekarang sudah cukup dengan pembatasan sosial dalam skala besar," kata juru bicara Presiden Jokowi, Fadjroel Rachman, kepada wartawan, Senin (30/3/2020) malam.
Fadjroel mengatakan kebijakan pembatasan sosial skala besar ini sebenarnya sudah diterapkan sejak dua pekan terakhir. Namun, kata Fadjroel, kali ini penerapan pembatasan sosial disertai dengan upaya pendisiplinan hukum.
"Itu sudah dijalankan hampir 2 minggu ini. Kampanye sosial distancing itu kan sudah, pembatasan sosial tapi di UU Nomor 6 Tahun 2018 yang ditandatangani Pak Jokowi juga, makanya sekarang sekolah diliburkan, kegiatan keagamaan. Oleh Pak Jokowi ditambah dengan pendisiplinan hukum melalui maklumat Kapolri itu, jadi sebenarnya dari UU Nomor 6 tahun 2018 yaitu pembatasan sosial berskala besar terus ditambah maklumat Polri, kalau orang melakukan kerumunan itu bisa dibubarkan, melalui KUHP dan itu sampai hari Sabtu kemarin sudah hampir 10 ribuan kerumunan massa dibubarkan," ujar dia.
Menurut Fadjroel, Jokowi sudah merasa cukup dengan pembatasan sosial berskala besar. Selain itu, kata Fadjroel, penerapan darurat sipil merupakan opsi terakhir yang akan diambil pemerintah.
"Kenapa tidak masuk ke karantina wilayah, ya itu tadi Pak Jokowi pertama merasa cukup PSBB dan pendisiplinan hukum. Nah apabila keadaannya kalau mengikuti pernyataan dalam Perppu Nomor 23 Tahun 1959 apabila dikhawatirkan tidak lagi dapat diatasi oleh alat-alat perlengkapan secara biasa maka dimungkinkan adanya darurat sipil walaupun presiden mengatakan sangat-sangat berdoa agar tidak ke arah sana, tidak seperti India. Kalau sudah seperti itu akan darurat sipil bisa terjadi, tapi Pak Presiden cukup PSBB plus pendisiplinan hukum," imbuh Fadjroel.
Sebelumnya, Jokowi menyatakan saat ini pembatasan sosial skala besar perlu diterapkan. Kebijakan itu perlu disertai dengan darurat sipil.
"Saya minta kebijakan pembatasan sosial berskala besar, physical distancing dilakukan lebih tegas, disiplin, dan lebih efektif lagi," demikian kata Presiden Jokowi dalam rapat terbatas laporan Gugus Tugas COVID-19, disiarkan lewat akun YouTube Sekretariat Presiden, Senin (30/3).
"Sehingga tadi juga sudah saya sampaikan bahwa perlu didampingi adanya kebijakan darurat sipil," kata Jokowi.(dtk)