GELORA.CO - Narasi Presiden Joko Widodo yang memilih physical distancing ketimbang lockdown dinilai kurang tegas dan cenderung menghakimi rakyat tidak disiplin.
Analis politik dari Indonesia Political Opinion (IPO), Dedi Kurnia Syah menilai bahwa imbauan itu bersifat sukarela. Artinya rakyat tidak ditekan untuk benar-benar patuh berada di rumah demi hindari sebaran Covid-19.
“Untuk itu, tidak semua warga negara patuh karena mereka memiliki kebutuhan hidup yang lebih dipilih dibanding mengikui imbauan,” ujarnya kepada Kantor Berita Politik RMOL, Rabu (25/3).
Menurutnya, cerita akan berbeda jika Jokowi memutuska untuk lockdown seperti negara maju. Maka tidak ada pilihan bagi rakyat untuk tidak patuh. Mereka yang melanggar bisa dikenakan sanksi.
Pasca lockdown diputus, Jokowi baru bisa menilai apakah rakyat Indonesia disiplin atau tidak.
“Dari kebijakan itu juga, presiden dapat mengambil kesimpulan rakyat disiplin atau tidak,” sambungnya.
Dedi menambahkan Presiden Joko Widodo saat ini seperti tidak memiliki data sebaran yang valid sehingga tidak melakukan upaya lockdown. Selain itu, negara juga terkesan tidak berani rugi demi warga negara.
“Karena lockdown tidak bisa dijalankan jika keburuhan warga laling dasar tidak dijamin negara,” katanya.
Menurutnya, physical distancing dengan banyaknya karakter masyarakat Indonesia akan sia-sia jika pemerintah tak segera melakukan lockdown.
Social distancing yang himbau, dengan waktu diperlama, akan sia-sia selama tidak serentak satu negara, ini persoalan, wabah tidak teratasi produktivitas warga turut hilang,” tandasnya. (Rmol)