Oleh: M Rizal Fadillah
KIRIMAN APD yang dijemput pesawat Hercules milik TNI dari Shanghai, China, ternyata menimbulkan kehebohan. Pemicunya adalah adanya dus APD overall yang bertuliskan "made in Indonesia" dan berhuruf Korea. Penjelasan simpang siur.
Yang paling ekstrem adalah penjelasan dari BNPB yang menyebut bahwa pakaian Disposable Protective Overall tersebut bukan barang impor, tetapi barang produk Indonesia yang akan diekspor ke Korea. Katanya, barang rencana ekspor ke Korea tersebut tertahan oleh Bea Cukai. Akhirnya setengah untuk Korea setengah lagi untuk Indonesia. Prosedur yang aneh juga. Bea Cukai perlu memberi penjelasan.
Fakta mendatangkan APD dari China tentu tak terbantahkan. Menhan Prabowo langsung yang mengkoordinasi "penjemputan" dari Shanghai. Simpang siurnya adalah bantuan atau pembelian.
Semestinya dengan pola "penjemputan" keberadaan APD seperti itu adalah bantuan. Masih ada yang berpandangan dan meyakini APD tersebut sebagai impor barang yang memang dibeli.
Meskipun di tengah situasi gawat dan darurat atas wabah virus corona, akan tetapi segala sesuatu harus tetap transparan dan terklarifikasi.
Jangan biarkan kondisi menjadi simpang siur. Apalagi saling klaim jasa. Di samping itu tentunya pengawasan ketat terhadap kemungkinan korupsi juga harus dilakukan.
Kembali ke "made in Indonesia", kabar gembiranya adalah pabrik di Indonesia memiliki kemampuan untuk membuat APD yang dibutuhkan. Keberadaan pabrik tersebut perlu diketahui dan potensial untuk didorong membuat lebih banyak lagi. Pemerintah dapat membeli dengan harga yang lebih murah dibandingkan barang impor.
Jika "made in Indonesia" ternyata adalah impor dari Korea lalu masuk China dan kembali ke Indonesia tentu menimbulkan tanda tanya lanjutan. Kok bisa?
Meskipun berfikir positif harus didahulukan, akan tetapi situasi negatif juga bisa terjadi. Jika terjadi apa-apa misal "terpapar virus" pada APD termaksud, maka pertanggungjawaban tentu menjadi ada pada "made in Indonesia".
Bisnis itu sah-sah saja, akan tetapi jangan sampai terjadi "mencari kesempatan dalam kesempitan". Baik pengusaha swasta, BUMN, atau pejabat birokrasi. Anggaran Negara yang digunakan secara bebas dengan alasan "force majeur".
Pihak yang leluasa bermain dengan mengeruk keuntungan "besar-besaran" harus diawasi serius. Mereka adalah ODP atau mungkin PDP. Penular virus yang tak kalah berbahaya.
Berbisnis "made in Indonesia" jangan menghalalkan segala cara. Beli disebut bantuan. Atau dari pembelian berujung bagi-bagi fee.
Rakyat tetap saja menjadi objek penderita. (*)