GELORA.CO - Sekretaris Jenderal Majelis Ulama Indonesia (MUI), Anwar Abbas, mengkritik Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi yang menyusun kode etik bagi pimpinan KPK baru. Pasalnya, Dewas membuang nilai dasar religiusitas yang sudah ada dalam nilai-nilai dasar KPK sebelumnya, yaitu religiusitas, integritas, keadilan, profesionalisme, kepemimpinan dan menggantinya dengan nilai dasar sinergi.
“Membalik posisi ini jelas sangat tidak bertanggung jawab karena akan menempatkan manusia di atas segala-galanya termasuk di atas dari Tuhan itu sendiri. Ini jelas merupakan sebuah pemikiran yang sesat dan membahayakan,” kata Anwar dalam keterangan tertulis yang diterima, Senin (9/3).
Artinya, lanjut dia, para pihak yang ada di KPK dalam pola pikir dan pola tindaknya tidak boleh mengabaikan ajaran dari agama yang diakui oleh negara. Mereka harus mengacu kepada nilai yang ada dalam ajaran agama tersebut.
“Ini penting kita sampaikan karena bukankah kita sudah sepakat untuk menjadikan pancasila dan UUD 1945 sebagai dasar dan hukum dasar negara di mana ke dua-duanya harus kita fungsikan sebagai kaidah penuntun dalam kehidupan berbangsa dan bernegara,” tuturnya.
Lantas, dia mempertanyakan kenapa Dewan Pengawas KPK tidak berdiskusi dengan para ahli yang lain yang punya pandangan berbeda? Menurut dia, dalam susunan dan hirarki sila yang ada dalam pancasila dapat di temukan dan simpulkan bahwa nilai Ketuhanan Yang Maha Esa itu harus menaungi dan menjiwai nilai kemanusiaan tersebut.
“Ini jelas terlihat Dewan Pengawas mengabaikan Pancasila dan pasal 29 ayat 1 UUD 1945 yang menyatakan bahwa negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa,” katanya.
Sebelumnya, nilai dasar KPK ialah religiusitas, integritas, keadilan, profesionalisme dan kepemimpinan. Akronim dari nilai dasar itu RI-KPK. Namun, dalam kode etik baru, religiusitas dihapus dan digantikan dengan sinergi.
“Kami cantumkan satu nilai dasar baru, yaitu sinergi,” kata Ketua Dewas KPK Tumpak Hatorangan Panggabean di Gedung KPK, Jakarta, Kamis, 5 Maret 2020.
Tumpak menjelaskan nilai dasar baru KPK itu diperlukan karena terjadi perubahan dalam UU KPK. UU KPK baru, kata dia, mengharuskan lembaganya melakukan kerja sama, koordinasi, dan supervisi dengan lembaga negara lainnya. “Bahkan disebut juga operasi bersama,” kata Tumpak.(*)