OLEH: HENDRA J. KEDE
SEORANG terinfeksi virus corona berinteraksi dengan beberapa orang. Interaksinyapun di beberapa tempat dengan orang berbeda. Besar kemungkinan beberapa orang yang berinteraksi dengan seseorang yang terinfeksi corona tadi sudah terpapar virus corona.
Tentu saja orang orang yang terpapar virus corona tadi juga berinteraksi dengan banyak orang lagi. Akhirnya yang terinfeksi awal terdeteksi terinfeksi virus corona. Mana yang lebih besar manfaatnya bagi publik antara mengungkap identitas yang terinfeksi virus corona atau menutup identitasnya?
Faktanya, beberapa orang datang memeriksakan diri ke rumah sakit setelah identitas dua warga negara Indonesia yang terinfeksi virus corona diketahuinya melalui media masa. Penulis berfikir kalau kedatangan mereka ke rumah sakit tidak saja karena khawatir tertular namun juga khawatir anggota keluarga mereka ketularan jika benar mereka sudah terpapar virus corona.
Nah di sini, para penggiat keterbukaan informasi dihadapkan pada dua pilihan sulit, mana yang harus didahulukan penerapannya antara informasi yang dikecualikan (dirahasiakan) terkait data kesehatan seseorang yang terinfeksi virus corona dengan informasi serta merta untuk melindungi kepentingan publik yang lebih luas, termasuk anggota keluarga pasien?
Bagaimana penerapan perlindungan data pribadi kesehatan seseorang jika menutup an membuka data kesehatan tersebut punya implikasi pada penyebaran wabah penyakit yang belum ditemukan obatnya?
Apakah boleh data kesehatan seseorang dibuka kerahasiaannya jika itu menyangkut wabah yang sangat berpotensi menulari publik dan menyangkut perlindungan kesehatan publik dari wabah yang belum ditemukan obat efektifnya?
Pertanyaan yang harus dijawab juga adalah mana yang lebih memudahkan bagi publik untuk menjaga dirinya dari kemungkinan tertular wabah virus corona antara mengumumkan siapa yang sudah terinfeksi, di mana terinfeksinya, dan dimana tinggalnya dibanding menyembunyikan itu semua dari publik?
Jika saya sebagai publik mengetahui seseorang terinfeksi corona maka lebih mudah bagi saya untuk melindungi diri saya dan melindungi orang orang disekeliling saya dengan tidak datang ke rumah atau lokasi lingkungan tempat tinggal seorang yang terinfeksi corona tersebut dibanding saya datang ke rumah atau lokasi lingkungan tempat tinggal seorang yang terinfeksi virus corona. Kalau informasi penderita ini tidak dipublikasikan, bukankah peluang saya dan publik mendatangi rumah dan lokasi lingkungan tinggal penderita lebih besar dan tanpa kewaspadaan?
Pertanyaan lebih lanjut adalah apakah ketentuan dalam UU 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik terkait perlindungan data kesehatan seseorang itu termasuk juga data kesehatan seseorang yang terkait dengan wabah penyakit yang yang sedang mewabah dan belum diketemukan obatnya, dan isolasi pasien serta kewaspadaan publik adalah kunci utama menahan penyebaran?
Pertanyaan lagi, berhakkah publik mendapat informasi serta merta terkait peluang penyebaran wabah corona secara maksimal, agar dapat menahan diri berinteraksi dengan orang dan lingkungan orang yang terinfeksi Corona sehingga meminimalisir terinfeksi dan menularkan ke publik lain?
Maka pertanyaan inti yang perlu dijawab saat ini adalah mana yang harus didahulukan antara melindungi diri dan data kesehatan orang terinfeksi virus corona atau memberikan informasi serta merta agar publik dapat lebih waspada agar penularan virus corona bisa dikendalikan? Mana yang lebih kecil mudhorotnya dan lebih besar manfaatnya? Kaidah fiqh mengatakan jika bertemu dua mudhorot maka pilihlah yang mudhorotnya lebih kecil.
Pemerintah punya kebebasan untuk memutuskan mana yang mudhorotnya lebih kecil dan manfaatnya lebih besar.
Pemerintah punya kebebasan mengambil langkah yang diperlukan, termasuk membuka atau menutup identitas orang yang terinfeksi virus corona dan riwayat intekasi publiknya.
Semoga wabah ini segera bisa dikendalikan, semoga yang terinfeksi diberi Allah SWT kesabaran, dan masyarakat dapat secara optimal melindungi dirinya, amiin.
Penulis adalah Wakil Ketua Komisi Informasi Pusat RI