PRESIDEN Jokowi mengumumkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) pada Senin 30 Maret 20020 di tengah bertambahnya kasus positif covid 19.
Keputusan tersebut diambil disebabkan adanya tekanan kuat dari masyarakat untuk melakukkan penanganan CV19 yang lebih tegas dan efektif daripada kebijakan social distancing moderat yang saat ini diterapkan.
Keputusan PSBB dipilih daripada melakukan Karantina Wilayah (Lockdown) oleh Presiden juga disertai rencana penerapan darurat sipil menggunakan perppu 23/1959.
Bagaimana rasionalisasi kebijakan tersebut dipandang dari sudut pandang kebijakan publik di era demokratisasi, sudah tepatkah? apa yang perlu diperhatikan selanjutnya.
Komunikasi Publik Pemerintah Atasi Covid 19 Ambigu
Presiden dalam rapat terbatas kedua (30/3) untuk mendengarkan laporan tim gugus tugas covid19 mengatakan dengan redaksi berikut: “Saya (Presiden. Ed) minta pembatasan sosial berskala besar, physical distancing dilakukan lebih tegas, lebih disiplin, dan lebih efektif lagi sehingga tadi juga sudah saya sampaikan perlu didampingi kebijakan darurat sipil”. Jelas sekali Presiden meminta penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) disertai pemberlakuan darurat sipil.
Meski demikian, Juru bicara Presiden, Fadjroel Rachman menegaskan ada pentahapan yang dilakukan terlebih dahulu bukan bersamaan PSBB dan Darurat Sipil. Tapi bila PSBB tidak efektif akan diterapkan darurat sipil sebagai tahap terakhir.
"Pemerintah mempertimbangkan usulan darurat sipil supaya penerapan PSBB berjalan efektif. Namun penerapan darurat sipil adalah langkah terakhir yang bisa jadi tidak digunakan dalam kasus covid-19," ujar Fadjroel dikutip media 30/3.
Komunikasi Publik Pemerintah pada senin 30/3 tersebut sangat membingungkan publik khususnya terkait penerapan darurat sipil yang kontroversial.
Ambiguitas dalam komunikasi publik tersebut seharusnya tidak perlu terjadi disaat publik membutuhkan kejelasan tindakan apa langkah selanjutnya yang dapat meredam penambahan kasus positif dan korban meninggal akibat CV19 tersebut. Kini kasus positif telah bertambah 129 menjadi 1,414 kasus dan meninggal bertambah 8 jiwa menjadi 122 dibandingkan hari sebelumnya (29/03).
Publik sekarang bertanya-tanya, manakah yang akan dilakukan Presiden apakah penerapan PSBB yang tegas disertai darurat sipil atau PSBB yang kemudian dievaluasi dan akan berlanjut ke kebijakan darurat sipil sebagai langkah terakhir?
Publik makin bingung padahal disaat yang sama mereka belum memiliki jawaban yang memuaskan dari ketidakefektifan social distancing dan mereka sedang menunggu kebijakan yang lebih tegas dari UU Kekarantinaan Wilayah No. 06/2018 yaitu karantina wilayah yang disertai stimulus ekonomi. Namun mereka dihadapi pilihan PSBB dan darurat sipil (Perppu 23/1959)?
Bingkai Hukum PSBB
Kebijakan PSBB diatur dalam Pasal 59 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan yang diakui oleh Gubernur DKI Jakarta bahwa DKI sudah menerapkannya dua pekan terakhir, begitu juga Ridwan Kamil di Jawa Barat, Ganjar di Jawa Tengah dan Risma di Jawa Timur.
Pasal 59 ayat 3 mengatakan Pembatasan Sosial Berskala Besar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit meliputi: peliburan sekolah dan tempat kerja; pembatasan kegiatan keagamaan; dan/atau pembatasan kegiatan di tempat atau fasilitas umum.
Jelas sekali, PSBB sudah dijalankan dua pekan terakhir di berbagai propinsi dan hal tersebut dinilai publik perlu ditambah dengan kebijakan lain yang lebih tegas. PSBB yang dibicarakan oleh Pemerintah pada senin (30/03) kemarin sebagai komunikasi yang out of date atau sudah usang karena faktanya masyarakat sudah melaksanakannya selama dua pekan terakhir sebagai bagian kebijakan pemerintah propinsi.
Bingkai Hukum Darurat Sipil.
Darurat sipil menggunakan aturan Perppu No. 23 tahun 1959, dalam pasal 17 Perppu 23/1959 tersebut penguasa dapat melarang percakapan telepon, melarang berita dan radio dan menetapkan peraturan yang membatasi atau melarang seluruh alat komunikasi. Pasal 19 penguasa dapat memaksa orang tetap di rumah tanpa ada kewajiban pemenuhan kebutuhan dasar.
Pasal yang dinilai tepat untuk meredam CV19 adalah pasal 18 ayat 1 dan 2 dalam perppu 23/1959 yaitu penguasa berhak melarang atau membatasi rapat umum, pertemuan umum, arak-arakan, penggunaan gedung pertemuan. Namun pada ayat 3 pasal 18 aturan tersebut tidak sesuai meredam CV19 karena berbunyi Ketentuan aayat 1 dan 2 pasal ini tidak berlaku untuk peribadatan, pengajian, upacara agama dan adat.
Jelas sekali aturan darurat sipil Perppu 23/1959 tidak mencukupi digunakan untuk meredam CV19 karena perppu darurat sipil untuk meredam gejolak politik terutama paska dekrit presiden 5 Juli 1959 bukan untuk mitigasi gangguan kesehatan publik. Aktivitas pertemuan adat dan agama tidak dilarang dalam perppu 23/1959 darurat sipil karena tidak bersifat politik padahal dalam situasi wabah CV19, seluruh kegiatan yang menghimpun jamaah atau umat beragama dan adat harus dibatasi untuk mencegah penyebaran virus CV19 lebih lanjut.
Alih-alih menggunakan aturan darurat sipil dalam perppu 23/1959, seharusnya pemerintah tetap menggunakan UU No. 06/2018 dengan menambah peraturan pemerintah (PP) yang memastikan social distancing menjadi efektif. Langkah lain adalah merevisi UU No. 24 Tahun 2007 tentang penanggulangan bencana yang dirasakan peran BNPB lemah tidak dapat menjadi command center atasi CV19.
Peran BNPB saat ini terbatas tanpa ada penetapan status darurat bencana nasional atas CV19 sehingga BNPB tidak dapat bertindak cepat, efisien dan melakukan law enforcement yang dibenarkan hukum untuk menjaga semua orang tetap dirumah.
Alasan wacana darurat sipil oleh pemerintah saat ini bukan karena Pemerintah tidak memiliki keinginan untuk memenuhi kebutuhan dasar bagi masyarakat dan binatang ternak yang terdampak karantina wilayah sebagaimana diatur UU 06/2018 namun lebih disebabkan untuk memberikan komitmen kuat agar orang tetap dirumah.
Namun, penerapan darurat sipil perppu 23/1959 tidak tepat karena situasi kedaruratannya bukan motif kesehatan melainkan motif politik yang akan mengembalikan Indonesia kembali ke zaman otoritarian bahkan ke zaman fasisme yang memberikan tempat bagi pesona pemimpin tunggal untuk menindas rakyatnya sendiri.
Sebenarnya karantina wilayah juga membatasi hak-hak asasi manusia untuk berkumpul dan mencari nafkah namun dalam UU kekarantinaan wilayah No. 06/2018 disertai kewajiban negara untuk memenuhi kebutuhan dasarnya. Ini lah indahnya semangat demokrasi dalam UU 06/2018, hak asasi dibatasi namun diberikan kompensasi dan itupun waktunya dibatasi ketika wabah yang menganggu kesehatan masyarakat terjadi.
Kapankah Darurat Sipil dapat Diterapkan
Adalah tidak tepat bila aturan darurat sipil tidak dapat diterapkan di situasi demkrasi sama sekali.
Dalam bingkai kebijakan publik, darurat sipil dapat diterapkan di tengah wabah CV19 bila karantina wilayah sudah diterapkan dan ada gangguan keamanan yang berupa kerusuhan massal sehingga menimbulkan ketakutan besar di tengah-tengah masyarakat sehingga menghambat pemberian logistik kepada masyarakat.
Bila situasinya demikian, tetap saja pemerintah perlu melalukan revisi terhadap aturan darurat sipil perppu 23/1959 yang masih memuat pasal-pasal out of date yang tidak sesuai dengan semangat demokrasi saat ini.
Publik menunggu Karantina Wilayah dan Stimulus Ekonomi.
Daripada berpolemik dengan PSBB dan Darurat Sipil sebaiknya pemerintah dan DPR mempercepat adanya revisi relaksasi defisit 3% menjadi 5% sehingga negara memiliki kemampuan memberikan stimulus ekonomi dan efektif dalam melakukan karantina.
Karantina wilayah dalam UU 06/2018 adalah tindakan necessary (perlu) dalam atasi CV19 namun insufficient (tidak mencukupi) tanpa stimulus ekonomi. A necessary condition adalah kondisi yang harus hadir dalam atasi sebuah masalah namun necessary condition sendirian tidak dapat mencukupi dan efektif bila tidak disertai kebijakan lainnya (sufficient policies).
Pemerintah harus bekerja cerdas daripada sekedar kerja keras (hard work) karena hard work is necessary but not sufficient.
Kita berharap pemerintah dapat memperbaiki komunikasi publiknya, bila tidak kepercayaan terhadap otoritas akan tergerus akhirnya kita sebagai bangsa tidak dapat menyelamatkan jiwa anak bangsa dari wabah CV19 tersebut.
Penulis adalah pengamat kebijakan publik.