Coronavirus dan Nasib Negara Kita

Coronavirus dan Nasib Negara Kita

Gelora News
facebook twitter whatsapp


Oleh: Dr. Syahganda Nainggolan

MENTERI Infrastruktur Belanda, Cora Van Nieuwenhuizen, seperti diberitakan rtlnews.nl, langsung menyampaikan ke publik bahwa dirinya akan mengurung diri di rumah setelah mengetahui Menhub Budi Karya dinyatakan positif coronavirus, kemarin (Sabtu, 14/3).

Rtlnews.nl memberitakan a.l., "Minister Cora van Nieuwenhuizen (Infrastructuur en Waterstaat) moet in ieder geval tot 24 Maart thuis werken. Woensdag had ze een ontmoeting met een Indonesische collega die het virus blijkt te hebben. Eerder vandaag werd gezegd dat ze geen klachten heeft en zich goed voelt.”

Meski terlihat baik-baik saja, namun dia akan di rumahnya mengurung diri sampai tanggal 24 Maret. Tanggal ini tepat dua minggu setelah dia ketemu Menhub Budi Karya di Jakarta, sebagai bagian kerjasama Kerajaan Belanda dengan Indonesia.

Pilihan mengisolasi diri ini adalah untuk nenghindari kontak dengan semua manusia. Sebab, masa inkubasi dua minggu coronavirus tidak bisa disimpulkan dengan test secanggih apapun, seperti yang dipertontonkan presiden dan kabinet pemerintahan Jokowi merespon situasi yang sama.

Di Indonesia, Menhub Budi Karya, yang dinyatakan positif terinfeksi kemarin, seharusnya membuat semua menteri, dirjen, pejabat lainnya dan juga presiden kita mengambil tindakan standar internasional, sebagaimana yang dilakukan menteri infrastruktur Belanda tadi.

Jika siapa saja melakukan kontak dalam jarak di bawah 2 meter, harus dianggap potensi tertular virus. Namun, kita melihat hal itu tidak terjadi. Menteri-menteri dan Jokowi masih berinteraksi dengan berbagai manusia lain dalam aktifitasnya.

Situasi penanganan pandemik Covid-19 ini, terutama sejak WHO dan dunia melakukan langkah-langkah ekstrim, Indonesia masih memperlihatkan ketidak jelasan kordinasi.

Jakarta Post beberapa hari lalu sudah memvonis Jokowi amatiran, sedang hari ini CNN Indonesia menuliskan Jokowi harus meminta maaf pada bangsa ini.

Faktanya, hari demi hari semua kepala daerah melakukan konprensi pers sendiri-sendiri, membuat gugus tugas sendiri-sendiri, mengumpulkan stok masker sendiri, dll.

Ketidakjelasan situasi sampai saat ini terlihat dengan keputusan terakhir Jokowi yang menyerahkan urusan "lockdown" atau tidak, hanya melalui pertimbangan kepala daerah.

Sedangkan, di sisi lain, sebelumnya, kemarin Jokowi membentuk Gugus Tugas, untuk memperkuat kordinasi dan sinergi nasional mengatasi penyebaran virus ini. Seharusnya kedua hal itu bernuansa kontradiktif.

Dalam penjelasan di Istana Bogor, tadi (Minggu, 15/3) sebagaimana dikutip berbagai media, Jokowi meminta pemda menjalin kerjasama intens dengan BNPB dan menggunakan anggaran efisien.

Penjelasan ini tidak menunjukkan ketegasan apakah Doni Monardo, sebagai kepala BNPB atau Gugus Tugas, dapat melakukan kordinasi lintas daerah atau hanya sinergi (kerjasama) saja.

Sebab, jika misalnya satu daerah  melakukan "lockdown", pertanyaan berikutnya adalah apakah BNPB dapat menutup kota/daerah itu? Ataukah Gugus Tugas yang baru dibentuk yang melakukannya?

Situasi ini menunjukkan adanya kebingungan dari Jokowi dalam merespon situasi. Berbagai negara di dunia sudah melakukan lockdown, sebagian lockdown ataupun menyatakan darurat negara.

Darurat negara adalah beda dengan darurat bencana. Darurat negara bersifat nasional. Sedang darurat bencana, bisa bersifat lokal. Nah, Jokowi lebih memilih urusan virus corona ini diselesiakan lokal demi lokal.

Dari penjelasan Jokowi tadi di Istana Bogor, di mana Jokowi menekankan pentingnya menjaga pertumbuhan ekonomi, ada kesan faktor perekonomian kita dipertaruhkan dengan nyawa manusia yang mulai ketakutan dengan coronavirus ini.

Padahal, sesungguhnya, ketakutan rakyat kita atas coronavirus sudah dirilis oleh survei YouGov pertengahan Februari lalu, rakyat kita yang paling cemas dibanding negara-negara lain di Asia.

Keselamatan Manusia atau Keselamatan Ekonomi

Kita dihadapkan pada pilihan sulit, mau menyelamatkan ekonomi atau mau menyalamatkan manusia, terkait pandemik coronavirus ini. Memang kita tidak menafikkan pentingnya ekonomi terus tumbuh berkembang. Namun, manusia juga butuh keselamatan hidup.

Fakta selama ini, kita bisa lihat kepala2 daerah panik sendiri mengatasi situasi pandemik coronavirus. Rakyat juga ikut panik karena kepastian informasi sulit dipercaya.

Coba bayangkan dua hal ini. Pertama, mantan karyawan Telkom yang wafat di Cianjur, pada tanggal 3 Maret lalu, awalnya dinyatakan negatif Covid-19.

Hari ini, setelah 12 hari meninggal, dinyatakan positif coronavirus.

Butuh waktu menganulir hasil test awal. Artinya, lama dan test tidak begitu canggih. Akibatnya apa? Istri dan anak karyawan itu dinyatakan positif coronavirus. Lalu bagaimama orang-orang yang berhubungan dengan almarhum?

Padahal dia sudah berobat ke mana-mana sebelum ke RS Cianjur.

Kedua, bagaimana mungkin seorang menteri (Menhub) terkena infeksi corona virus? Bukankah seharusnya elit-elit negara lebih siap menangkal dirinya terhindar dari virus itu?

Tentu saja setinggi apapun pangkat bisa tertular virus corona ini. Namun, bagaimana membayangkan Menteri Perhubungan yang berkali-kali ke Istana Negara, telah disensor thermal scanner, bisa membawa virus itu ke Istana?

Bahkan, bagaimana dia membawa virus itu ke acara Indonesia dan Kerajaan Belanda.

Melihat kasus Menhub Budi Karya dan kasus eks karyawan Telkom di Cianjur itu, kita perlu refleksi bahwa fokus kita pada penanganan wabah coronavirus ini belum optimal.

Jika pemaksimalan ikhtiar haru dilakukan dengan fokus, maka pilihan penyelamatan ekonomi vs. penyelamatan nyawa manusia harus dilihat bersifat "trade-off".

Kita tidak bisa memilih keduanya. Mungkin ekonomi akan turun dua persen dari target pertumbuhan, namun kita bisa optomalkan penyelamatan manusia.

Penutup

Menyebarkan virus corona ke Kerajaan Belanda, bisa saja sebuah ketidaksengajaan. Namun, ikhtiar memperbaiki diri bisa menunjukkan rasa penyesalan kepada negara sahabat.

Memperbaiki diri yang dibutuhkan adalah melakukan semua standar internasional pada batas maksimal, bukan batas minimal.

Misalnya, pemerintahan Jokowi harus menyatakan "Kabinet Lockdown", sebagaimana ditulis Kantor Berita Politik RMOL kemarin.

Artinya, selama dua minggu sejak Menhub Budi Karya dinyatakan positif coronavirus, semua menteri mengkarantina diri atau mengisolasi.

Jika jumlah orang-orang yang berhubungan dengan Budi Karya pada hubungan langsung dan tidak langsung sangat banyak, maka, mereka dapat diberikan pinjaman sebuah pulau di Kepulauan Seribu, misalnya. Atau di Pulau Galang, Batam, sebagaimana sudah diputuskan Jokowi tempo hari.

Tulisan CNN Indonesia tentang Jokowi perlu meminta maaf kepada bangsa Indonesia harus direspon positif. Juga tulisan Jakarta Post beberapa hari lalu agar Jokowi jangan amatiran harus direspon perubahan ke arah profesional.

Semua ini perlu cepat. Pembentukan Gugus Tugas dan alokasi APBN Rp 1 triliun sudah sebuah kemajuan.

Namun, mengingat ledakan eksponensial jumlah terjangkit virus akan segera datang, maka kita harus mengantisipasi pengendalian stok makanan danminuman, serta obat-obatan, juga masker, agar tidak hilang dipasaran.

Memastikan anak-anak sekolah belajar di rumah. Memastikan jumlah pusat karantina cukup dan tersebar se Indonesia. Memastikan perawat dan dokter cukup, dll. Tentara, misalnya, harus diberi wewenang menembak mati spekulan-spekulan barang, yang selalu mencari keuntungan dalam kesempitan.

Gugus Tugas diberikan kewenangan pasti untuk melakukan kordinasi lintas sektoral dan daerah, bukan seperti sekarang masing-masing kota melakukan gugus tugas sendirian.

Jokowi harus menunjukkan ketegasan maksimum dalam menangani pandemik ini. Tidak perlu ragu memilih, perekonomian lambat vs. nyawa rakyat. (*)
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita