Oleh:Ubaidillah Amin Moch
Beberapa bulan ini, dunia digemparkan dengan salah satu bentuk virus yang penyebarannya begitu cepat dan berpotensi mematikan. Virus ini kini kita kenal dengan nama Covid-19 atau yang biasa disebut dengan Virus Corona Baru.
World Health Organization (WHO) pada tanggal 11 Maret 2020 menetapkan virus ini sebagai pandemi global setelah persebaran virus secara geografi telah menjangkit di 190 negara di berbagai belahan dunia.
Sedangkan di Indonesia, virus ini mulai masuk pada tanggal 2 Maret 2020 dan menyebar begitu cepat. Saat ini, prosentase kematian akibat Covid-19 di Indonesia tercatat sebagai kematian tertinggi di antara negara-negara lain yang telah terpapar Covid-19.
Melihat realita demikian, penting kiranya untuk memahami bahwa virus Covid-19 bukanlah virus yang dapat disepelekan. Masyarakat perlu bersinergi agar virus ini tidak menyebar semakin ganas, seperti yang terjadi di Italia, Iran dan Amerika.
Salah satu langkah yang paling tepat adalah dengan cara berdiam diri di rumah dengan menerapkan social distancing, Physical Distancing yaitu menjaga jarak dari keramaian.
Dalam Ajaran Islam sendiri, ketika di suatu daerah terjangkit suatu wabah, maka berdiam diri di rumah tergolong sebagaisebuah ibadah, bahkan pahala orang yang menetap di rumah di saat wabah sedang melanda layaknya seperti pahala orang yang mati syahid.
Penegasan ini seperti yang dijelaskan dalam hadis riwayat Sayyidah ‘Aisyah:“Aku bertanya pada Rasulullah SAW tentang Tha’un, beliau lalu bersabda: “Sesungguhnya Tha’un adalah azab yang ditujukan pada orang-orang yang Allah kehendaki, lalu Allah menjadikannya rahmat bagi orang-orang yang beriman. Maka tidaklah seorang lelaki yang terkena tha’un lalu ia berdiam diri di rumahnya dengan bersabar dan senantiasa mengharap ridho dari Allah, ia tahu bahwa tidaklah mengenainya melainkan apa yang telah ditentukan oleh Allah, kecuali ia akan mendapatkan pahala seperti halnya orang yang mati syahid” (HR. Ahmad)
Penetapan social distancing sebagai bentuk ibadah tak lain dalam rangka menjaga diri agar tidak terpapar Covid-19 dan menjaga orang lain agar tidak tertular.
Mengenai social distancing ini, ulama’ kenamaan baghdad, Ibnu Qasim al-Jauzi menjelaskan bahwa maksud social distancing bukan berarti tidak beraktivitas apapun seolah-olah kita adalah benda mati.
Namun lebih meminimalisir aktivitas yang tidak perlu dilakukan dan menghindari aktivitas yang berpotensi mengakibatkan terpapar virus yang sedang melanda.
Dengan demikian, bagi para pekerja yang memiliki imun yang kuat, seperti petani, pekerja kebun, tetap diperbolehkan bagi mereka untuk bekerja dengan tetap waspada dan tidak melakukan aktivitas yang berlebihan.
Pandangan ini dikemukakan dalam kitab ath-Thibbun an-Nabawi: “Diriwayatkan bahwa tidak satu pun dokter atau ahli medis lainnya yang berpandangan bahwa masyarakat tidak dapat beraktivitas apapun tatkala masa wabah, seolah-olah mereka seperti benda mati.
Hanya saja dianjurkan bagi masyarakat untuk meminimalisir aktivitas sebisa mungkin. Lari dari wabah tidak menuntut aktivitas apapun kecuali gerakan menghindar dari wabah saja.
Membiarkan dan berdiam diri lebih bermanfaat bagi hati dan tubuhnya serta lebih menunjukkan rasa tawakkal kepada Allah Ta’ala dan pasrah terhadap ketentuan-Nya.
Adapun orang yang butuh beraktivitas seperti produsen, buruh, dan pegawai lainnya, maka tidak layak dikatakan pada mereka: “jangan beraktivitas sama sekali” hanya saja mereka diperintahkan untuk meninggalkan aktivitas yang tidak dibutuhkan (terlebih beresiko tertular)” (Ibnu Qayyim al-Jauzi, ath-Thibbun an-Nabawi, Hal. 34)
Lantas bagaimana dengan menjalankan ibadah yang bersifat kolektif? Misalnya seperti Salat jama’ah, Salat jum’at dan berbagai majelis keagamaan lain pada saat terjadinya pandemi Covid-19. Bukankah berdiam di rumah akan mereduksi laju syiar agama islam?
Dalam hal ini perlu ditekankan bahwa dalam kaedah fikih terdapat dua kaidah khusus yang berkaitan dengan persoalan ini: “Keselamatan tubuh lebih diutamakan dibanding keselamatan agama” dan “Kemaslahatan pribadi seseorang lebih diutamakan dari kemaslahatan agama”.
Jika dengan menjalankan ibadah, maka keselamatan tubuh kita terancam, maka hal yang lebih diutamakan adalah menjaga kesehatan tubuh kita dibanding tetap menjalankan ibadah, namun akan berpotensi terancamnya kesehatan tubuh karena terpapar virus.
Hal ini dilandasi dari pemahaman bahwa menghindari terjadinya resiko bahaya lebih diutamakan daripada menghasilkan suatu kemaslahatan (Dar’ul Mafasid Muqaddamun ‘ala Jalb al-Mashalih). Maka tidak menjalankan ibadah kolektif pada saat masa pandemi ini, bukan berarti anti terhadap syariat, justru sikap demikian merupakan bagian dari menjalankan aturan syariat.
Terlebih berbagai institusi keagamaan kredibel di negeri ini (MUI, NU, Muhammadiyah) sudah sejak awal menerbitkan fatwa tentang bolehnya tidak melaksanakan Salat Jum’at ketika akan beresiko semakin merebaknya Virus Covid-19 di suatu daerah.
Berdasarkan berbagai ulasan di atas, dapat disimpulkan bahwa berdiam diri di rumah dengan menerapkan social distancing dan physical distancing merupakan jalan utama dalam menjaga tidak tersebarnya virus covid-19 ini. Langkah demikian merupakan sebuah bentuk ibadah sebab akan mencegah terjadinya resiko bahaya kesehatannya (Dar’ul Mafasid) yang merupakan salah satu ajaran syariat islam.
Selain itu, masyarakat sebaiknya tidak terlalu panik dan merespons terlalu berlebihan dalam menghadapi pandemi ini. Tingkatkan rasa waspada dengan tetap berbaik sangka (Husnudzan) bahwa nantinya pandemi ini akan berakhir.
Hal demikian sesuai dengan ungkapan ulama pakar kedokteran Islam, Ibnu Sina: “Kepanikan adalah separuh penyakit, ketenangan adalah separuh obat dan kesabaran adalah langkah awal kesembuhan”. Wallahu a’lam.
(Penulis adalah Staf Khusus Menteri Agama RI)