GELORA.CO - Virus corona di Indonesia sudah dalam tahap amat serius; 686 positif, 55 orang meninggal, lebih banyak dibanding pasien sembuh sebanyak 30 orang. Belum ada opsi lockdown, baik di Jakarta --angka penularan tertinggi-- maupun negara.
Penularan terjadi begitu cepat tanpa ada data riwayat perlintasan pasien. Risiko penularan semakin besar, orang-orang masih banyak berkumpul dan tak menjaga jarak satu sama lain (physical/social distancing).
Ada dua alasan: warga memang sulit diatur atau tekanan pekerjaan. Banyak perusahaan yang enggan melakukan kebijakan bekerja dari rumah (work from home), dan masih banyak para pekerja yang mengandalkan penghasilan harian (pedagang, sopir angkutan umum, ojek online).
Presiden Jokowi dan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan beserta pimpinan daerah lainnya telah meminta warga untuk tinggal, belajar, dan bekerja di rumah. Tak boleh ada kerumunan, untuk memutus --setidaknya mengurangi-- angka COVID-19.
Sayangnya, seruan itu tak sepenuhnya berhasil. Warga masih bandel keluar rumah untuk makan ke restoran, memanfaatkan "study from home" dengan berkumpul bersama teman-teman, dan perusahaan masih mempekerjakan pegawainya. Ini tentu sangat berbahaya.
"Kantor kami tidak memberlakukan WFH atau pengurangan jam kerja, karena menurut owner kami WFH hanya untuk karyawan pemalas," kata Rosa, nama disamarkan-red, kepada kumparan.
"Di kantor kami tidak ada WFH, karena kata direktur kami ini propaganda dan issue yang dibuat pemerintah agar kita takut. Sekalipun kita WFH kita tidak menerima gaji," kata Hery, pekerja lainnya.
Beberapa negara sudah mengalaminya dan akhirnya memutuskan untuk lockdown agar warga tertib, tak bisa keluar rumah. Paling tidak memutus akses transportasi antarkota. Orang-orang dilarang keluar kecuali dalam keadaan darurat seperti membeli makanan atau ke apotek.
Tercatat banyak negara sudah lockdown; China, Italia, Inggris, Prancis, Spanyol, Malaysia, bahkan Afrika Selatan.
Untuk Indonesia, Jokowi menegaskan tidak akan lockdown. Dalam rapat terbatas bersama gubernur, Jokowi mengatakan, opsi lockdown di negara-negara lain tak bisa disamakan dengan Indonesia.
"Ada yang tanya kepada saya kenapa kebijakan lockdown tidak kita lakukan. Perlu saya sampaikan bahwa setiap negara memiliki karakter berbeda-beda, budaya berbeda, memiliki kedisiplinan berbeda. Oleh sebab itu kita tidak memilih jalan itu," ucap Jokowi dalam ratas online, Selasa (24/3).
"Kebijakan mereka apa, hasilnya apa, semua dari Kemlu lewat Gugus Tugas yang ada terus kita pantau setiap hari, sehingga di negara kita yang paling pas adalah physical distancing, menjaga jarak aman itu paling penting," bebernya.
Namun penilaian Jokowi berbeda dengan usulan Ikatan Dokter Indonesia (IDI). Menurut Ketua Satgas COVID-19 IDI, Zubairi Djoerban, pihaknya setuju jika lockdown diterapkan untuk menekan penularan.
IDI memahami pemerintah alergi dengan istilah lockdown. Maka, tak masalah Jokowi tak menggunakan istilah lockdown, tapi penerapannya sama, yaitu membatasi bahkan mengisolasi warga di rumah.
"Artinya yang penting adalah kan sudah disarankan bekerja dari rumah, sekolah-sekolah sudah ditutup. Jadi menurut saya istilahnya karena mungkin agak alergi dengan istilah lockdown ya, ganti saja dengan yang lain," tuturnya.
"Itu istilah lain saja, lockdown kecil lah. Jadi kalo lock down bagus, tidak lockdown asal isunya sama aja ya enggak apa-apalah," imbuh Zubairi.
Desakan serupa juga diungkapkan berbagai politikus, salah satunya Politikus Demokrat Didik Mukrianto.
"Dalam kondisi demikian, seharusnya untuk menjamin keselamatan masyarakat, pemerintah jangan ragu-ragu untuk mengambil sikap tegas untuk melakukan lockdown daerah-daerah tertentu yang dianggap masif dan tidak terkendali penyebaran virusnya," kata Didik.
Begitu pula yang disampaikan Waketum Gerindra Fadli Zon. "Pak Jokowi, jangan buang-buang waktu menunda lockdown karena nanti akan lebih banyak korban jatuh," kata Fadli dalam surat terbukanya. (kumparan)