Asas Kolaborasi Hadapi Covid-19

Asas Kolaborasi Hadapi Covid-19

Gelora Media
facebook twitter whatsapp

Oleh:M. Kholid Syeirazi
 DI TENGAH kondisi gahar nasional, semua pihak harus berpikir konstruktif. Kalau ada yang berpikir politis dan konspiratif, saya duga kita perlu waktu lebih lama untuk keluar dari bencana nasional ini.

Begitu juga kalau orang, entah itu pejabat, pebisnis, atau sekadar makelar, lebih menomorsatukan kepentingan ekonomi atau bisnisnya atau rentenya, wabah ini akan menelan lebih banyak korban lagi.

Kita perlu gotong royong dan berkolaborasi. Semua harus taat asas. Masyarakat perlu patuh dan taat anjuran ulil amri (otoritas yang berwenang) untuk “bekerja dari rumah, belajar dari rumah, dan beribadah di rumah,” sekurang-kurangnya 14 hari.

Begitu pun Pemerintah harus taat asas. Jangan masyarakat disuruh tinggal di rumah, tetapi orang luar dibiarkan datang ke tempat kita. Dua contoh menunjukkan betapa ‘pating pecotot-nya’ Pemerintah kita.

Satu terkait kedatangan 49 Tenaga Kerja Asing (TKA) China ke Kendari, Sulawesi Tenggara. Dua terkait dengan agenda ijtima Dunia Zona Asia Jamaah Tabligh di Gowa, Sulawesi Selatan.

Kasus pertama jelas menunjukkan betapa runyamnya otoritas kita. Seorang pembuat video ditangkap, kemudian dilepas. Dia merekam kejadian 49 TKA China mendarat di Bandara Haluoleo, Kendari, Minggu (15/3) dengan membumbui kalimat: “Corona lagi, corona....”.

Kapolda Sultra bilang, mereka TKA lawas yang kerja di pabrik smelter nikel di Konawe, Sultra, dan baru pulang dari Jakarta mengurus perpanjang visa. Pernyataan ini disanggah Kepala Kantor Perwakilan Kemenkumham  Sultra, Sofyan.

Dia menyatakan 49 TKA itu bukan TKA lama. Mereka TKA baru yang berangkat dari China, transit di Thailand, masuk Indonesia via Bandara Soetta, lanjut Haluoleo via penerbangan GA-696.

Kemnaker bilang mereka TKA ilegal, datang dengan visa kunjungan, dan minta segera dideportasi. Sementara Menko Kemaritiman dan Investasi, LBP, menyatakan mereka TKA legal. Mereka mengantongi visa sebelum adanya travel ban. Dia minta urusan ini jangan dibesar-besarkan.

Kita, rakyat jelata, menonton drama ini dengan hati pilu. Kalau pejabatnya tidak taat asas, Pemerintah kehilangan basis moral untuk minta rakyatnya melakukan ini-itu.

Kasus kedua menunjukkan betapa kedodorannya otoritas kita menghalau potensi faktor eksternal dalam penyebaran virus dengan Covid-19. Jama’ah Tabligh adalah komunitas berjaringan global yang menjunjung tinggi keutamaan nilai-nilai dan laku salaf dalam kehidupan.

Mereka punya tradisi khuruj, dakwah dari kampung ke kampung, tinggal bersama di masjid, makan dalam satu nampan. Dalam keadaan normal, tradisi ini tidak masalah. Namun, dalam kondisi gahar Covid-19, tradisi mereka bisa menjadi media penularan.

Pada 27 Februari- 1 Maret 2020, mereka menggelar Tabligh Akbar di Kuala Lumpur, Malaysia, melibatkan sekitar 16.000 orang dari beberapa negara.

Straits Times melaporkan, sepekan setelah perhelatan itu, 77 orang dinyatakan positif Corona. Untuk menghindari situasi yang lebih parah, per Rabu kemarin (18/3/2020), Malaysia resmi mengumumkan lockdown total selama dua minggu.

Sekarang komunitas yang sama mau menggelar ijtima massal dengan target peserta 25 ribu hingga 30 ribu orang di Gowa, Sulawesi Selatan, pada 19-22 Maret 2020.

Rabu malam, BNPB telah mengkonfirmasi 8.000 orang sudah tiba di Gowa. Bisa kita bayangkan betapa risikonya perhelatan itu, terlebih banyak peserta asing yang akan datang.

Diperkirakan ada sekitar 411 orang asing yang akan datang dari Pakistan, India, Malaysia, Thailand, Brunai Darussalam, Timor Leste, Arab Saudi, Bangladesh, dan Filipina.

Kita bertanya-tanya, di mana adanya Pemerintah? Tidak mungkin satu sisi menyuruh orang tinggal di rumah, sisi lain membiarkan orang lain datang ke rumah kita membawa potensi penyakit. Setahu saya, Jamaah Tabligh mengikuti aqidah asy’ariyah, seperti NU.

Asy’ariyah menengahi fatalisme kaum Jabbariyah dan free-will/free act kaum Qadariyah dengan teori kasab. Ringkasnya, nasib kita di tangan Allah, tetapi bergantung ikhtiar manusia.

Manusia bukan seperti wayang di tangan dalang. Manusia punya pilihan dan kelak akan dimintai pertanggungjawaban atas pilihannya itu. Tawakkal adanya di ujung ikhtiar. Itulah intisari aqidah asy’ariyah dalam urusan takdir.

Sekarang kita semua sedang berikhtiar menyelamatkan kehidupan. Kematian adalah takdir. Tugas utama agama memelihara nyawa dan kehidupan (حفظ النفس). Dia didahulukan atas pengamalan syariat.

Syariat melarang makan babi. Tetapi dalam keadaan darurat, boleh makan barang haram untuk bertahan hidup. Syariat mewajibkan Salat Jum’at. Tetapi dalam keadaan darurat, dia bisa diganti dengan salat dhuhur.

Syariat mewajibkan salat menghadap kiblat. Tetapi dalam keadaan darurat, seperti dalam keadaan perang hidup-mati, salat boleh menghadap arah mana saja.
NU, atas inisiatif sendiri, telah membatalkan pelaksanaan Munas dan Konbes 2020, yang rencananya dilakukan kemarin (18-19 Maret 2020). Ini semua dilakukan sebagai ikhtiar untuk mencegah mudharat.

NU dan Banom-Banom NU telah menghentikan seluruh agenda pengerahaan massa. Ini bentuk dukungan NU kepada program pemerintah.

Kita juga berharap Jamaah Tabligh, atas inisiatif sendiri, membatalkan rencana ijtima akbar ini. Kalau tidak, Pemerintah harus tegas melarang pengerahan massa, dalam skala besar, atas alasan apapun, termasuk agama.

Tetapi, kalau Pemerintah tidak taat asas, jangan berharap terjadi kolaborasi dan sinergi. Pemerintahnya acak adut, masyarakatnya kacau: terbelah oleh polarisasi politik, korslet dengan teori-teori konspirasi.

(Penulis adalah Sekretaris Umum Pengurus Pusat Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama)
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita