GELORA.CO - 100 hari masa pemerintahan kabinet Presiden Jokowi dikritisi Anggota DPR Komisi I dari Fraksi PDIP Effendi Simbolon.
Dia menyebut, sebagian menteri dalam Kabinet Indonesia Maju ditempatkan pada sektor yang tidak sesuai.
Awalnya Effendi berbicara tentang capaian Jokowi dalam menciptakan stabilitas politik. Namun modal stabilitas politik untuk kemajuan Indonesia itu, menurutnya, tidak ditopang secara maksimal oleh kabinet Jokowi.
"Pertanyaannya sekarang apakah modal tadi sudah dimanfaatkan optimal? Nah, ini kembali lagi pada susunan kru di kapal Pak Jokowi. Kita lihat susunan kabinet ini tidak dream team juga, ada political of appointee, kontraktor politik, ada orang yang nggak ada urusannya tapi posisinya di situ," kata Effendi dalam diskusi di Hotel Ibis Tamarin, Jakarta Pusat, Sabtu (8/2/2020).
Effendi mengatakan banyak hal yang ingin dicapai oleh Jokowi terhambat karena menteri yang tidak sesuai penempatan. Dia juga menyebut Jokowi terus menoleransi ini.
"Banyaklah (menteri salah posisi), ya. Yang kita ingin kejar ke satu titik tapi dipasang awak yang menurut saya bukan posisinya. Kalau contohnya hampir semuanya, dokter jadi ahli mesin, ahli mesin jadi dokter bedah, ini yang membuat Jokowi masih ambil risiko bahwa di the last lap dia dengan warisan yang nanti diwariskan di pemimpin berikutnya, dia masih tetap menolerir ini," ucapnya.
Salah satu menteri yang disoroti Effendi adalah Menteri Pariwisata Wishnutama serta Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan.
"Kita lihat para awak yang membawahi bidang-bidang kementerian yang dimaksud kan apa iya sesuai dengan yang diharapkan? Kan tidak, bagaimana Menteri Pariwisata sudah sekian bulan nggak ada programnya. Ini contoh. Menteri yang lain sama, menteri investasi mana mau berinvestasi menarik," imbuhnya.
Selain itu, Effendi mengkritisi menteri koordinator dalam kabinet Jokowi. Dia menyebut menko yang ada sejauh ini justru mempersulit birokrasi pemerintah.
"Fungsi menko juga nggak terlalu efektif kecuali perpanjang birokrasi yang akhirnya nggak penting juga. Sehingga si menteri bingung, dia bertanggung jawab ke siapa, ke wapres kok via menko, atau ke presiden atau ke KSP. Kalau mau lari kencang, ya nggak usah ada menko, tapi semua menteri yang langsung bisa menerapkan kebijakannya," ujarnya. [ljc]