GELORA.CO - Irfan Wahid, anak dari KH Salahudin Wahid atau Gus Solah menceritakan tanda-tanda ayahandanya yang akan meninggalkan dunia ini untuk selama-lamanya.
Bahkan, kata dia, pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang, Jawa Timur itu kerap bermimpi ketemu Ibundanya Nyai Hj Sholehah Wahid dan kakaknya juga, Presiden ke-4 Republik Indonesia, Abdurrahman Wahid atau Gus Dur.
"Tapi yang sudah kita rasakan adalah seperti lazimnya orang-orang yang mau meninggal beberapa hari sebelumnya dia bilang, 'Kok saya ketemu sama ibu saya ya. Terus antara mimpi atau enggak, saya ngelihat ada Gus Dur di situ, saya ngelihat ada kerabat-kerabat yang sudah meninggal di situ'," kata Irfan Wahid di kediamannya, Jalan Bangka Raya No. 2B, RT.3/RW.5, Pela Mampang, Kecamatan Mampang Prapatan, Kota Jakarta Selatan, Senin, 3 Februari 2020.
"Terus beliau cerita, ini ada banyak orang pada ke saya ngucapin selamat. Jadi entah dalam mimpi, dalam bayangan beliau itu adalah isyarohnya," tuturnya.
Sementara itu, firasat lain, kata Gus Ipang, tidak ada. Menurutnya, Gus Solah kerap berbicara tentang Pesantren Tebuireng dan terakhir masih membicarakan film bersama antara Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, 'Jejak Langkah 2 Ulama'.
"Sampai beliau berpikir kapan saya bisa melihat preview ini, ayo kita hari Senin atau Selasa dan kami tadi pagi melihat film tersebut tanpa ada beliau. Saya juga cerita sudah ini pasti beliau enggak dengar, tapi sudah report. Saya rasa gitu," katanya.
Tak hanya itu, kepergian Gus Solah ini dirasakan banyak masyarakat bahkan semua tokoh hadir di sini, karena memang Gus Solah ini bermain dengan siapa saja. Gus Solah ini kawannya dari tukang becak sampai presiden.
"Jadi memang benar-benar banyak yang merasa kehilangan, beliau bisa bermain, bisa berkawan dengan yang paling kiri sampai yang kanan atau yang bawah. Memang banyak yang kehilangan dan banyak yang kaget, karena selama ini tidak ada penyakit yang benar-benar serius," ujarnya.
Tentunya, dengan kepergian Gus Solah ini terasa terpukul dan merasa kehilangan bahwa kehilangan satu tokoh yang bisa mengayomi banyak kelompok. Bukan cuma masalah agama, tapi juga kebangsaan pada umumnya.(*)