Oleh: Arief Gunawan
PRESIDEN Amerika umumnya adalah The Greatest Man.
Ford, Kennedy, Nixon, Bush, Eisenhower, adalah para satria Perang Dunia Kedua.
Rosevelt presiden 4 periode karena dipercaya rakyat, dengan kemampuan memulihkan Amerika dari Great Depresion yang melanda dunia, dan dengan kaki lumpuh melawan Nazi & Jepang.
Pak Harto, suka tidak suka, ialah pemimpin Asean yang sejajar Lee Kwan Yeuw & Mahathir. Anak desa Kemusuk yang mau belajar, yang bagaikan Don Corleone dalam The Godfather atau semacam Semar dalam pewayangan.
Sukarno ialah “raksasa besar” yang mempersatukan Indonesia. Yang hatinya juga buat rakyat. Sehingga cintanya kepada wong cilik berbalas ungkapan: “Pejah Gesang Nderek Bung Karno”.
Waktu Sukarno dijatuhkan, Panglima KKO Mayjen Hartono berkata:
“Hitam kata Bung Karno, hitam kata KKO; Putih kata Bung Karno, putih kata KKO”. Perang saudara hampir meletus. Namun Sukarno berkata:
“Relakan aku tenggelam, asal jangan bangsaku dirobek Nekolim dan kakitangannya...”.
Gus Dur yang pluralis & egaliter memerintahkan menteri ekonominya seperti Dr Rizal Ramli untuk menyenangkan hati rakyat. Dengan beras murah, harga-harga terjangkau dan daya beli meningkat. Sehingga keduanya dikenal sebagai sosok pro rakyat.
Para pemimpin amanah di belakangnya adalah rakyat. Yang rela & ikhlas melakukan apa saja untuk membela, bahkan bertaruh nyawa.
Tetapi pemimpin boneka di belakangnya adalah para buzzer yang menghancurkan demokrasi, perbedaan pandangan, logika, & dialektika pemikiran dengan fitnah, pembunuhan karakter, menyerang pribadi dengan kata-kata kotor & keji. Melemparkan tuduhan anti toleransi dan anti Panca Sila, sebagai pemutarbalik fakta.
Kini kita hidup dalam alam rezim digital artificial, dimana boneka dapat naik ke dalam kekuasaan dengan menggunakan buzzers bayaran.
Digital artificial berisi narasi sesat, yang menjadikan penguasa zalim dan bodoh sebagai nabi. Dimana menteri keuangan seperti Sri Mulyani ngelantur dan ngoceh tentang hal yang bukan urusannya dipelihara seperti jimat untuk mempercepat kehancuran bangsa. (*)