Orang Buta dan Obor Kehidupan: Catatan Buat Novel Baswedan

Orang Buta dan Obor Kehidupan: Catatan Buat Novel Baswedan

Gelora News
facebook twitter whatsapp


Oleh: Dr. Syahganda Nainggolan*

SAYA telah bangga sebelumnya, ketika mengetahui akan di panel dengan Novel Baswedan kemarin sore dalam pengajian di sebuah daerah di pondok bambu Jakarta Timur.

Selain dikenal sebagai penegak hukum tangan besi bagi para koruptor, Novel juga berani mengambil resiko besar terhadap ke hidupnya  yang selalu terancam mati. Matanya sendiri sudah disiram air keras dua tahun lalu.

Dr. Ahmad Yani, SH, ahli hukum dan bekas anggota DPR RI, dalam sebuah pertemuan kebetulan dengan Novel di sebuah bandara, beberapa waktu lalu menceritakan pada saya tentang mata Novel yang buta atau hampir buta saat itu.

Novel bertanya kepada Yani, coba tebak, mata mana saya yang masih bisa melihat? Yani melihat, lalu mengatakan mata kanan. Jawaban Yani salah. Kenapa? Jawaban yang benar adalah mata kiri yang terlihat buta, justru masih bisa sedikit melihat. Sedang mata kanan yang kelihatan normal, justru sudah buta. Di siram air keras.

Saya telah berbincang2 dengan Novel Baswedan selepas Maghrib menunggu Isya. Sekalian makan nasi Kebuli. Acara kemarin akan berlangsung habis Isya. Pertemuan itu mengupas berbagai kejahatan korupsi di negara ini. Novel, misalnya, mengingatkan hati2 Omnibus Law, nanti bisa jadi, akan lebih gampang lagi kejahatan pengurasan sumber daya alam. Untuk bayar biaya politik. Saya celetuk, "bukankah biaya politik sudah selesai dengan Jiwasraya?"

Kebanggaan saya sirna setelah Isya. Acara dimulai dengan paparan pertama dari Novel Baswedan. Setelah Novel menegaskan bahayanya korupsi di Indonesia serta tantangannya yang lebih besar saat ini, dia menutup ceramahnya dengan berkata: sesungguhnya saya harus memberitahu anda semua, tadinya mata kiri saya masih bisa melihat secara samar. Namun, mata inipun sudah buta. Saya tidak dapat lagi melihat anda semua".

Hilangnya kebanggaan saya setelah saya mengetahui bahwa Novel Baswedan tidak pernah melihat sosok siapa Syahganda Nainggolan itu. Novel Baswedan is a Blind Man. Panjang lebar perbincangan saya sebelumnya, antara Maghrib dan Isya, "hanyalah" pada orang yang tidak bisa melihat saya. Itu membuat saya sama sekali tidak bangga. Tentu awalnya.

Buta Mata, Terang di Hati

Untuk memulihkan kebanggaan saya bertemu dengan Novel yang buta, saya harus membaca cerita2 orang buta. "The Blind Man and The King",  "The Blind Man and The Lamp", "The Blind Man and The Lame", "Jesus and the Blind", "Nabi Isa dan Orang Buta", "Si Buta Dari Gua Hantu", dll.

Orang buta ternyata bukanlah orang buta. Itu pertama ketika pernyataan terkahir Novel Baswedan dalam ceramahnya "Mata saya telah menjadi buta. Namun, saya tidak akan menyesalinya. Saya lebih takut kalau saya memilih jalan yang salah".

"Tale story" maupun "true story" tentang orang buta yang banyak berguna bagi kehidupan kemanusian ternyata mengartikan buta sama dengan "jalan yang salah". Kebutaan yang benar2 buta adalah jalan sesat. Jalan kejahatan. Manusia2 yang matanya benar2 buta sesungguhnya manusia2 yang hidup dalam kesesatan, seperti koruptor2 itu.

Novel Baswedan awalnya matanya terang dan hatinya bersinar. Namun, mafia2 perampokan asset bangsa dan boneka2 nya telah memerintahkan penyiraman air keras kepada Novel. Kita tahu ketika Novel keluar dari Masjid sehabis Subuh di dekat rumahnya, pelaku pembutaan menyiramkan air keras ke mata Novel.

Untuk mempertahankan matanya, sehabis kejadian 11 April 2017, Novel di bawa ke Eye Center Jakarta kemudian dirawat di Singapore General Hospital. Setelah hampir 3 tahun Novel akhirnya buta. Matanya sudah tidak bersinar lagi.

Namun, hati Novel tetap bersinar terang. Sebab, Novel tidak menyesali resiko matanya . Novel berkata tadi, "saya lebih takut kalau berada dijalan yang salah". Artinya dia lebih takut kalau hatinya tidak bersinar, bukan matanya. Dan Novel, dalam ceramahnya, mengatakan, "Saya akan berjalan sendiri, jika memang kalau itu harus sendiri, dalam melawan kezaliman para koruptor2”.

Tantangan Kita

Novel adalah petugas resmi negara. Bertahun2 penyiram air keras Novel raib tak ditemukan. Mirip Harun Masiku. Meski akhirnya ada dua opsir polisi yang mengaku beberapa bulan lalu. Pengakuan itu tidak menghilangkan misteri. Karena rakyat percaya bahwa penyiram mata Novel adalah sebuah kejahatan besar dari "organisasi mafia" besar.

Pada saat Novel disiram air keras, matanya, KPK masih berjaya. Namun, saat ini KPK telah tersandera. Menggeledah sebuah kantor partaipun sudah kesulitan. Berbagai kasus atau 36 kasus, akhirnya di SP3 alias di peti es kan. Era pemberantasan korupsi, sebagai ikon perjuangan paska reformasi kelihatannya berakhir saat ini.

Lalu bagaimana tantangan pemberantasan korupsi ke depan?

Tentu saja "kematian" KPK bukan kematian rakyat dalam mengawasi korupsi dan melawan koruptor2 itu. Dukungan besar kepada KPK sepanjang sejarahnya, selama ini di tunjukkan dengan aksi rakyat ke KPK, aksi simpati. Sampai2 Jubir Jokowi, Fadjroel Rachman, tercatat sejarah membotakkan kepalanya di KPK, disorot semua TV. (Catatan: semua aktifis ITB tahun 80an pernah botak kepalanya karena ikut OS/Ospek/Plonco. Hanya Fadjroel yang dulu tidak ikut Plonco, sehingga belum pernah gunduli kepala).

Nah, dukungan rakyat pada pemberantasan korupsi akhirnya saat ini tidak punya saluran lagi. Sehingga kita lihat massa rakyat dalam tema anti korupsi kemarin sudah ke istana negara. Bukan lagi ke KPK. Begitu juga berbagai aktifitas para aktifis dalam menyuarakan anti korupsi, selain ke jalan, saat ini memenuhi ruang media sosial dan diskusi publik.

Sekitar sepuluh ribu massa tumpah ruah kemarin di depan istana. Itu adalah sebuah langkah awal rakyat yang baik. Menyalurkan aspirasi langsung ke istana. Dan Mahfud MD, menko polhukam, mengapresiasi isu dan aksi tersebut.

Pola baru tuntutan massa rakyat ini akan membutuhkan ujian serius, apakah suara mereka didengar para penguasa atau tidak. Jika praktek korupsi tetap merajalela, maka massa itu mungkin bukan lagi sepuluh ribu, bisa jadi bergerak ke angka aksi 212, yakni sepuluh juta jiwa.

Penutup

Kebanggaan saya berkenalan dengan Novel Baswedan yang awalnya sirna, ketika mengetahui beliau buta total, atau tak mengenali lagi audiens, berangsur bangga kembali. Karena ternyata buta mata Novel bukanlah buta mata hatinya. Kebutaan mata fisik hanyalah bagian kecil dari perjuangan Novel, yang lebih takut jika mata hatinya yang buta. Novel memastikan perjuangannya melawan korupsi dan mafia2 akan terus berlanjut. Menurutnya, buta itu adalah berada di jalan yang sesat. Dan dia memilih tidak di jalan sesat.

Setelah Novel pergi dari majelis pengajian kemarin malam, dan saya mulai berbicara, saya sampaikan "perjuangan ideologis itu bukanlah mempertentangkan Pancasila vs Agama. Namun, perjuangan ideologis adalah seperti Novel Baswedan, mengambil resiko buta, tapi memilih hidup dijalan yang benar. Tidak akan kompromi dengan koruptor2 dan mafia2". Atas keberanianya Novel mendapat peghargaan internasional dari Perdana Internasional Anticorruption Champion Foundation (PIACFF), 2020.

Kita harus belajar tentang kehidupan dari Novel Baswedan, "Orang Buta Yang Menjadi Obor Kehidupan". Bravo, Novel! 


*) Penulis adalah Direktur Eksekutif Sabang Merauke Circle. 
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita