GELORA.CO -Pendiri Lingkar Madani, Ray Rangkuti menegaskan bahwa dirinya menolak omnibus law RUU Cipta Kerja. Dia juga mempertanyakan wewenang Presiden Joko Widodo (Jokowi) bisa mengubah undang-undang (UU) melalui Peraturan Pemerintah (PP).
"Nah kan itu dia kan, sebenarnya kacau sekali. Di satu segi kita mau memperkuat konstitusi, namanya GBHN-lah, apa lah. Tapi kok kita membiarkan, di mana ada di republik aturan Presiden bisa mengubah undang-undang? Jadi eksekutif bisa mengubah aturan yang dibuat bersama rakyat," ujar Ray di Upnormal, Jalan KH Wahid Hasyim, Jakarta Pusat, Minggu (16/2/2020).
Ray menilai rencana tersebut akan memberikan peluang kepada Jokowi untuk bersikap otoriter. Apabila undang-undang itu disahkan, Ray kemudian mempertanyakan tugas dari Mahkamah Konstitusi.
"Ya kalau dari aspek legal formal ya otoriter. Artinya Undang-undang bisa dibatalkan oleh presiden. Itu otoriter. Lalu Mahkamah Konstitusi (MK) apa lagi gunanya?" cetus Ray.
"Nggak perlu lagi pengujian undang-undang. Apakah undang undang itu bertentangan dengan konstitusi atau tidak? Nggak perlu Mahkamah Konstiusi (MK), cukup dibuat oleh presiden aturannya selesai," katanya.
Ray menegaskan aturan itu bisa membuat Indonesia tak lagi menjadi negara yang demokratis. Di mana, dalam sebuah negara demokrasi aturan dibuat bersama, bukan hanya Presiden.
"Apakah itu negara demokratis? Ya jelas tidak demokratis. Salah satu prinsip negara demokratis itu adalah aturan dibuat secara bersama," jelas dia.
Lebih lanjut, Ray menuturkan Jokowi bisa saja membuat aturan, tetapi hanya mengatur dirinya sendiri. Namun, untuk kepentingan publik, maka publik juga turut serta dalam penyusunan undang-undang itu.
"Kecuali yang mengatur dirinya sendiri, presiden mengatur dirinya sendiri, dia buat Perpres, dia buat Kepres, itu boleh. Tapi kalau aturan yang berhubungan dengan kepentingan publik harus melibatkan publik," ucap Ray.
Ray melanjutkan UU adalah aturan yang melibatkan publik, serta dibuat berdasarkan kehendak publik. Sehingga apabila Jokowi, Ray menilai Jokowi melawan kehendak publik.
"Undang-undang itu adalah aturan yang melibatkan publik, dibuat berdasarkan kehendak publik. Undang-undang itu bisa dibatalkan secara eksklusif oleh presiden sendiri. Ya artinya presidennya melawan kehendak publik, kalau dalam konteks itu ya. Nah itu menjadi kekacauan. Ya oleh karena itu saya pribadi menolak omnibus law itu," pungkasnya.
Diketahui, omnibus law memberikan kewenangan kepada Presiden Joko Widodo untuk mengubah UU lewat Peraturan Pemerintah (PP). Padahal sesuai aturan, yang berhak mengubah UU adalah DPR-Presiden atau lewat Peraturan Pemerintah Pengganti UU (Perppu).
Regulasi di atas tertuang dalam BAB XIII Ketentuan Lain-lain RUU Cipta Kerja sebagaimana dikutip detikcom, Minggu (16/2). Dalam Pasal 170 ayat 1 disebutkan Presiden berwenang mengubah UU
"Dalam rangka percepatan pelaksanaan kebijakan strategis cipta kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), berdasarkan Undang-Undang ini Pemerintah Pusat berwenang mengubah ketentuan dalam Undang-Undang ini dan/atau mengubah ketentuan dalam Undang-Undang yang tidak diubah dalam Undang-Undang ini," demikian bunyi Pasal 170 ayat 1.
Berdasarkan aturan saat ini, Presiden bisa saja mengubah UU tapi lewat Peraturan pemerintah pengganti UU (Perppu). Namun Perppu itu harus mendapat persetujuan DPR dalam kurun waktu 3 bulan sejak dibuat.(dtk)