GELORA.CO - Polemik impor sampah menjadi masalah berkepanjangan. Sejak 10 tahun terakhir persoalan impor sampah tak kunjung selesai. Alih-alih ingin melindungi lingkungan dari bahaya sampah berbahaya dan beracun. Pelaku usaha terus mencari celah menguntungkan dari praktek impor sampah ini.
Kekhawatiran rusaknya lingkungan dari praktek impor sampah berbahaya dan beracun ini menggugah dua anak perempuan asal Jawa Timur, Aeshnina Azzahra (12) dan Zahira Zade (11). Kedua anak itu mengirimkan surat protes kepada Presiden Amerika Serikat Donald Trump.
Surat yang ditulis dari tangannya itu berisi protes keras soal Amerika Serikat yang mengekspor sampah plastik terkontaminasi limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) secara ilegal ke Indonesia. Surat itu langsung dikirimkan melalui Konsulat Jenderal Amerika di Surabaya.
"Ini surat untuk Tuan Presiden Trump, agar tidak mengekspor sampahnya lagi di Indonesia. Kenapa kita harus terkena dampak, seharusnya mereka mengurus sampah mereka sendiri," kata Nina, di Surabaya seperti dikutip dari CNN Indonesia.
Dalam surat itu juga, Nina, mengatakan kepada Trump, dirinya sedih dan kecewa karena sejumlah hewan yang mati akibat sampah plastik.
"I`m sad to see whales die, with stomach full of plastic waste. I was sad to see dead seagulls a plastic strangled neck. I`m sad to see turtles die with a plastic stomach," tulis Nina, dalam suratnya.
Suasana inspeksi mendadak yang dilakukan KLHK dan Komisi IV DPR RI di Pelabuhan Peti Kemas, Tanjung Priok, Jakarta (Foto: Beacukai.go.id)
Surat dari anak-anak Indonesia kepada Presiden Amerika Serikat itu cerminan upaya yang lemah dari pemerintah dalam memerangi impor sampah berbahaya dan dan beracun.
Kegusaran itu juga dirasakan Wakil Ketua Komisi IV DPR yang membawahi isu lingkungan hidup Dedi Mulyadi mengaku geram terkait masih membludaknya sampah impor yang mengandung bahan beracun dan berbahaya. Kata dia, industri yang menggunakan beragam jenis sampah plastik sebagai bahan baku didesak untuk menghentikan aktivitas impornya.
Sebab menurutnya, sampah plastik ini telah membawa banyak residu dan berpotensi meningkatkan pencemaran lingkungan di Tanah Air, "Bagaimana agar industri ini tidak impor sampah dari 42 negara. Namun, harus bisa memanfaatkan sampah domestik dulu, yang dengan syarat bisa didaur ulang," kata Wakil Ketua Komisi IV DPR RI Dedi Mulyadi dalam rilis kepada wartawan.
Industri yang memanfaatkan beragam jenis sampah plastik diharapkan segera menghentikan aktivitas impornya. Sebab, sampah plastik ini telah membawa banyak residu dan berpotensi meningkatkan pencemaran lingkungan di Tanah Air. Menurut bekas Bupati Purwakarta itu, perusahaan harus mencari cara yang ramah lingkungan untuk menyuplai kebutuhan bahan baku industrinya.
Lemahnya Aturan Impor Sampah
Soal maraknya impor sampah limbah beracun dan berbahaya ini bukan sekedar isapan jempol belaka. Data dari Direktorat Bea dan Cukai, pada periode Desember tahun 2019 saja sudah sekitar 2 ribuan kontainer berisi sampah beracun dan berbahaya. Menurut Juru bicara Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan, Sudiro, kegiatan impor sampah ini meroket sejak Tiongkok menutup keran impor sampah dari luar negeri pada tahun 2018. Kata dia, semenjak itu, sampah dari daratan Eropa dan Amerika mulai menyerbu Indonesia.
"Kegiatan import ini sebenarnya sudah lama ada. Nah, di awal 2019 dan ketika di awal 2018 Cina menutup import limbahnya dari negara lain, sehingga import itu akan bergeser atau pindah ke negara lain. Dan di awal 2019 Bea Cukai melakukan pemeriksaan barang atas limbah ini dan ditemukan limbah yang mengandung B3 ataupun limbah yang tercemar oleh sampah rumah tangga," kata Sudiro kepada Jurnalis Law-Justice.co, Bona Siahaan.
Indonesia dan beberapa negara di kawasan Asia seperti Malaysia, Filipina, Vietnam, dan Bangladesh, terkena dampak langsung atas kebijakan Tiongkok. Impor sampah di negara kita melonjak dua kali lipat. Ecological Observation and Wetlands Conservation (Ecoton) mencatat, pada akhir 2018 Indonesia berada di peringkat kedua sebagai negara yang paling banyak mengimpor sampah dari Inggris dan
Kata Sudiro, regulasi soal sampah impor ini hanya mencakup limbah kertas dan plastik. Tidak termasuk limbah berbahaya dan beracun. Pemerintah sudah mengeluarkan aturan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 84 Tahun 2018 tentang Ketentuan Impor Limbah Nonbahan Berbahaya dan Beracun sebagai Bahan Baku Industri. Aturan itu menggantikan Permendag Nomor 31 Tahun 2016 yang dinilai tidak sesuai lagi dengan perkembangan dan kebutuhan hukum
"Di ketentuan Kementerian Perdagangan nomor 84 tahun 2019 yang sebelunya Permendag nomor 31 kalau tidak salah ketika limbah itu terkontaminasi B3 atau mengandung sampah yang lain itu harus di reeksport ke negara asal. Dan yang bertanggungjawab untuk reeksport adalah si pemilik barang atau importir. Di Mei 2019 pertama di Bea Cukai Tanjung Perak, Surabaya kita menemukan import limbah yang mengandung B3 ini, sehingga akhirnya kita kita tahan,"
Peraturan impor limbah merupakan kerja sama tiga kementerian, yakni Kementerian Perindustrian, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, dan yang paling utama adalah Kementerian Perdagangan. Sementara Kemenperin dan KLHK bertugas dalam memberi rekomendasi bagi importir terkait standar pengolahan dan pengelolaan limbah. Maka Kemendag memiliki peran penting dalam mengatur secara lebih terperinci, termasuk audit limbah sebelum masuk ke Indonesia.
Sudiro menambahkan, ribuan kontainer berisi limbah sampah berbahaya dan beracun terus menyerbu pelabuhan-pelabuhan di Indonesia. Beberapa negara pelabuhan yang menjadi sasaran adalah pelabuhan peti kemas Tanjung Priok, Pelabuhan Tanjung Emas Semarang, Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya dan beberapa pelabuhan besar di Indonesia.
Data negara pengekspor sampah beracun dan berbahaya ke Indonesia (Foto: Repro Ditjen Bea dan Cukai Kementerian Keuangan)
Dari data Ditjen Bea Cukai, negara-negara pengekspor sampah terbesar berasal dari Inggris, Amerika Serikat, Australia, Jerman, Belanda, Selandia Baru, Perancis, Belgia dan Kanada.
Terkait terus berulangnya kasus impor sampah beracun dan berbahaya, Menteri KLHK Siti Nurbaya pun berang. Dia mendesak adanya penegakan aturan yang berlaku yakni Permendag No. 31 Tahun 2016. Selain itu, guna mempersempit celah penyelundupan, Siti juga meminta revisi Permendag tentang Ketentuan Impor Limbah Non-B3 tersebut.
Soal lemahnya aturan ini juga diutarakan oleh LSM lingkungan Walhi. Manager Kampanye Perkotaan dan Energi Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Dwi Sawung mengatakan, sampah-sampah tersebut sebetulnya tidak bisa masuk ke Indonesia karena adanya UU No. Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah. Dalam Pasal 29 ayat (1) jelas disebutkan bahwa setiap orang dilarang untuk mengimpor sampah atau mencampur sampah dengan limbah berbahaya bagi kesehatan dan lingkungan.
Namun Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia (Permendag) No. 84 Tahun 2019 tentang Ketentuan Impor Limbah Non Bahan Berbahaya dan Beracun sebagai Bahan Baku Industri, memberi celah sampah untuk masuk. Dalam pasal Pasal 2 Ayat (1) disebutkan bahwa, Limbah Non B3 dapat diimpor demi kepentingan industri dalam negeri.
“Oleh Permendag, kata-kata dalam regulasi itu seperti ‘dimainkan’. Yang diimpor bukan sampah, tapi limbah. Bahan baku untuk industri dalam negeri, baik itu kertas atau plastik,” kata Sawung saat ditemui Law-justice.co di kantor Walhi, Mampang Prapatan, Jakarta Selatan.
Perusahaan Cari Celah Aturan Permendag
Manajer Kampanye Perkotaan dan Energi Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Dwi Sawung mengatakan, aturan soal limbah ini memiliki celah yang dimanfaatkan perusahaan pengimpor sampah beracun dan berbahaya. Kata dia, ada perbedaan definisi tentang sampah dan limbah. Sampah adalah barang-barang bekas produksi rumah tangga yang tidak lagi bisa dimanfaatkan untuk keperluan industri. Sementara limbah merupakan barang bekas olahan pabrik yang masih memiliki nilai ekonomis untuk diolah kembali menjadi bahan baku.
Persoalan definisi dan frasa soal limbah dengan sampah ini menjadi masalah penting. Pada praktiknya di lapangan, sering ditemui sampah-sampah tersebut diselipkan dalam limbah impor yang akan dijadikan bahan baku untuk industri. Ecoton mencatat, setidaknya ada 30% persen sampah plastik dalam setiap impor bahan baku kertas. Bentuknya sampah rumah tangga yang beragam, seperti popok bayi, bungkus makanan, sachet, tas kresek, botol minuman, botol oli, odol, pakaian bekas, sampah elektronik, sampai dengan limbah medis yang mengandung bahan-bahan berbahaya.
“Bahkan ada satu kontainer yang isinya 80% sampah plastik. Benar-benar sampah yang masih dalam bentuk botol, plastik kemasan makanan ringan, plastik deterjen. Masih ada mereknya. Dikumpulkan, dipress, dan diselipkan dalam bahan baku kertas,” ujar Sawung.
Data yang dihimpun Ecoton menunjukkan, 74% sampah plastik yang ‘nyelip’ dalam bahan baku kertas yang diimpor adalah pembungkus makanan, 20% berupa plastik alat-alat pembersih rumahtangga, dan 6% sisanya berbentuk pembungkus barang-barang pribadi seperti sabun, shampo, pasta gigi, popok, dan jel.
“Kalau mereka bilang sampah plastik itu bisa dimanfaatkan, itu bohong. Hanya sedikit yang bisa dimanfaatkan. Kebanyakan enggak bisa, dan akhirnya benar-benar menjadi sampah di Indonesia,” ujar Sawung.
Kegiatan perusahaan pengolah sampah dan limbah plastik dan kertas (Foto: Ecoton)
Hanya ada beberapa jenis plastik yang bisa dimanfaatkan dan diolah ulang. Umumnya, plastik-plastik berjenis High-Density Polyethylene (HDPE), Low-Density Polyethylene (LDPE), atau Polyvinyl Chloride (PVC).
Plastik selain jenis-jenis tersebut, terutama yang multilayer untuk kemasan sachet, benar-benar menjadi sampah yang tidak bisa didaur ulang dan merusak lingkungan. Jika dibakar, hasil pembakarannya mengansung zat dioksin yang beracun jika dihirup manusia. Dalam waktu lama, sisa pembakaran plastik bisa memicu kanker. Jika dikubur dalam tanah, butuh waktu 50 – 500 tahun untuk mengurai sampah plastik. Beberapa jenis plastik bahkan ada yang membutuhkan waktu 1000 tahun agar mampu terurai.
Menurut penghitungan Walhi, pengolahan limbah bahan baku di pabrik menghasilkan setidaknya 5% residu. Artinya, jika perusahaan kertas membutuhkan 5 juta ton bahan baku setiap tahunnya, akan ada sekitar 250.000 ton residu yang dihasilkan, sisa dari produksi yang tidak lagi bisa dimanfaatkan.
“Penghitungan kami kemarin, kira-kira dalam sehari ada 400 ton residu, hasil sampah yang enggak bisa diserap oleh industri. Residu itu masuk ke TPA atau dibuang dipinggir sungai,” pungkas Sawung.
Direktur Eksekutif Ecoton Prigi Arisandi mengatakan, ada 22 pabrik kertas di Jawa Timur yang membutuhkan sekitar 5 juta ton bahan baku untuk industri mereka. Sementara pasar lokal hanya mampu memenuhi sekitar 3 juta ton bahan
Persoalannya, kata Prigi, perusahaan importir lebih senang memilih sampah-sampah kertas yang tidak disortir, karena harganya lebih murah.
“Importir lebih memilih unsorted waste paper, sehingga potensi tercampur sampah plastik sangat tinggi. Temuan kami sampah plastiknya antara 20% - 40%,” kata Prigi kepada Law-justice.co.
Masuknya sampah plastik dalam impor bahan baku kertas tidak akan terjadi jika perusahaan yang bertugas untuk mensurvey bekerja dengan benar. Berdasarkan Permendag, ada dua perusahaan diberi kewenangan untuk mensurvei limbah kertas sebelum masuk ke Indonesia, yakni PT Sucofindo dan PT Surveyor Indonesia.
“Kita itu sebetulnya kecolongan di surveyor. Mereka enggak survei benar-benar. Seharusnya disurvei di negara asal sebelum masuk ke Indonesia. Mereka yang paling bertanggung jawab,” ucap Sawung.
Sayangnya, kedua perusahaan tersebut sering menghindar. Law-justice.co sudah mencoba menghubungi PT Sucofindo, tapi mereka belum bersedia memberi keterangan,“Kami masih dalam proses pendalaman. Demikian untuk sementara yang bisa kami sampaikan,” kata Kepala Divisi Sekretariat PT Sucofindo Iwan Edy Himawanto.
Menanggapi hal itu, Sawung menimpali bahwa Sucofindo selalu berkelit ketika dimintai pertanggunganjawab soal masalah impor sampah ini,“Mereka sih selalu begitu kalau dimintai pertanggungjawaban,” timpal Sawung.
Kata Sawung, persoalan impor sampah tidak akan selesai kalau pemerintah tidak mengeluarkan kebijakan larangan impor limbah bahan baku dari luar. Walhi telah lama menyelidiki, bahwa bisnis limbah ini sangat menggiurkan.
“Kami menduga, mereka (perusahaan imprtir) ini dapat untung 2 kali lipat. Di dalam negeri dibayar (oleh produsen kertas), di luar negeri juga dibayar oleh negara pengekspor sampah,” kata Sawung.
Menurut analisi Walhi, bisnis impor sampah ini juga yang menghambat tata kelola sampah dalam negeri. Sampai saat ini, pemerintah belum mengambil peran penting dalam tata kelola sampah untuk dijadikan bahan baku industri,“Padahal tata kelola sampah kita itu sangat potensial untuk memenuhi kebutuhan bahan baku industri, terutama kertas dan plastik,” ucap Sawung.
“Kita harus stop impor, sambil membenahi manajemen sampah dalam negeri. Kalau pun mau impor, harus benar-benar bahan baku yang sudah dalam bentuk cacahan kertas atau plastik. Harus sudah homogen. Itu baru bisa disebut bahan baku, karena setengah dari proses pengolah sudah dilakukan di negara asalnya. Bukan kita mengambil dalam bentuk masih utuh seperti sekarang ini,” imbuh dia.[ljc]