GELORA.CO - Meledaknya kasus penyuapan terhadap Wahyu Setiawan komisioner KPK memunculkan sosok Harun Masiku yang diduga sebagai penyuapnya. Kasus bermula dengan tertangkapnya Wahyu Setiawan melalui operasi tangkap tangan (OTT) pada Rabu, 8 Januari 2020 oleh penyidik KPK.
Kasusnya diduga terkait suap pergantian antar waktu anggota DPR dengan nominal Rp 400 juta. Harun diyakini KPK berada di balik pemberian suap ini, demi memuluskan langkahnya sebagai anggota DPR RI melalui jalur PAW menggantikan Nazarudin Kiemas anggota DPR dari PDIP, yang pada Maret 2019 meninggal dunia.
Sampai sekarang yang namanya Masiku itu masih belum ketahuan dimana rimbanya. Siapa sebenarnya Harun Masiku yang begitu yang akhir ini begitu heboh di media ? Bersembunyi dimanakah kiranya dia ?, Keanean keanehan apa saja yang mewarnai kasus suap Wahyu Setiawan yang melibatkan Masiku sebagai aktor utamanya ?, Kenapa Masiku harus “dilindungi”, begitu pentingkah dia ?
Siapa Sebenarnya Harun Masiku ?
Harun Masiku dilahirkan di Jakarta pada 21 Maret namun dibesarkan di Bone, Sulawesi Selatan. Harun pernah berkuliah di Fakultas Hukum, Universitas Hasanuddin Makassar pada 1989 hingga 1994. Kemudian ia bekerja sebagai pengacara di Dimhart and Association Law Firm, Jakarta hingga 1995. Setelah itu karir Harun semakin mengkilat. Harun didaulat menjadi pengacara korporat di PT Indosat, Tbk hingga 1998.
Ingin mengembangkan ilmunya, Harun melanjutkan studi S2 mengenai Hukum Ekonomi Internasional di University of Warwick, Inggris melalui jalur British Chevening Award. Sepulang dari Inggris, Harun bekerja di perusahaannya Senior Partner Johannes Masiku & Associates Law Offices sejak 2003.
Harun ingin lebih tinggi lagi, dan memilih untuk berkarir sebagai politikus. PDIP bukan merupakan rumah pertama Harun, Harun lebih memilih Demokrat sebagai kendaraan politiknya, tentunya saat SBY masih jaya-jayanya.
Pada tahun 2009, Harun menjadi Tim Sukses Pemenangan Pemilu dan Pilpres Partai Demokrat di Sulawesi Tengah untuk memenangkan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Boediono. Jalan itu membuat Harun lebih dekat dengan kerjaan legislatif saat menjadi Tenaga Ahli Komisi III DPR pada 2011, selain tetap aktif sebagai Anggota Perhimpunan Advokat Indonesia.
Harun benar-benar terjun sebagai calon legislatif di Pemilu 2014 lewat Partai Demokrat daerah pemilihan Sulawesi Selatan III, meski pada akhirnya gagal. Tak mau patah arang pada Pemilu 2019 yang lalu, dia memilih berpindah ke PDIP untuk kembali mengikuti Pileg. Harun tercatat merupakan caleg PDI-P dari Daerah Pemilihan I Sumatera Selatan dengan nomor urut enam. Lagi-lagi Harun gagal.
Meski namanya tak lolos ke Senayan, jalan kembali terbuka bagi Harun saat dimajukan PDI Perjuangan untuk menggantikan Nazaruddin sebagai PAW. Terkesan tak biasa karena secara aturan KPU sudah memberikan jatah kursi Nazarudin ke Riezky Aprilia, caleg PDIP yang meraih suara terbanyak kedua. Akan tetapi, PDIP menolak dan menginginkan Harun Masiku yang menggantikan Nazarudin di DPR, dengan mengajukan gugatan uji materi Pasal 54 Peraturan KPU Nomor 3 Tahun 2019 Tentang Pemungutan dan Penghitungan Suara.
Sebuah lika-liku yang menjadi pertanyaan publik. Disisi lain, alasan PDIP memilih Harun seperti yang dikatakan Sekretaris Jenderal DPP PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto saat dikonfirmasi wartawan, Kamis (9/1/2020) karena Harun dianggap sebagai sosok yang bersih."Dia (Harun Masiku) sosok yang bersih. Kemudian, di dalam upaya pembinaan hukum selama ini cukup baik ya track record-nya," kata Hasto.
Bersih bagi seorang politikus terkadang relatif. Rekam jejak seakan sia-sia, jika pada akhirnya salah melangkah. Bersih secara individu, jika tak mampu menahan diri menghadapi sistem yang salah.Sosok yang dianggap bersih itu, sekarang menjadi buron KPK. Cerita dan mimpi Harun menjadi anggota DPR RI terancam gagal, kemungkinan dalam jangka waktu yang lama. Mungkin juga mimpi itu terpaksa harus dikubur dalam-dalam karena peristiwa ini.
Ngumpet Dimana Dia?
Teka teki dimana keberadaan kader Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Harun Masiku yang telah ditetapkan sebagai tersangka masih belum terkuak juga. Pada hal Harun Masiku adalah kartu terakhir yang diharapkan bisa membuka pintu pintu yang masih terkunci rapat dari OTT KPK kasus suap Wahyu Setiawan.
Info tentang keberadaan Harun Masiku masih simpang siur, ada berita dan informasi yang mengabarkan bahwa Harun Masiku sebenarnya sudah pulang dari plesirannya diluar negeri dan sudah berada di Indonesia.Berbagai pihak yang bertanggung jawab tentang seluk beluk kronologi keberadaan Harun Masiku saling bantah, saling tuding, saling mencari pembenaran dengan alasannya masing masing.
Entah ketelingsut dimana sebenarnya Harun Masiku ini, begitu sulitnya KPK dan pihak yang berwenang untuk mengungkap dimana sebenarnya persembunyiannya.Belum ditangkapnya Harun Masiku menyebabkan kelanjutan proses kasus suap Wahyu Setiawan oleh KPK masih terhambat dan terkendala.
Belum tertangkapnya Harun Masiku memunculkan dugaan bahwa yang bersangkutan memang sengaja disembunyikan oleh orang yang punya kuasa.Dugaan Harun Masiku sengaja disembunyikan disampaikan politisi Demokrat Benny K Harman, saat dilangsungkannya Raker Komisi III DPR dengan Pimpinan dan Dewas KPK di Ruang Rapat Komisi III, Gedung Nusantara II, Senayan, Jakarta, Senin (27/1/2020).
Dalam kesempatan ini, Benny merasa heran dengan jejak Harun yang lebih licin sehingga sulit ditemukan oleh KPK maupun aparat penegak hukum lainnya. Bahkan Benny melontarkan sindiran keras jika aparat dalam waktu singkat, 3×24 jam saja sudah bisa melacak lokasi persembunyian teroris.“Saya sedih, saya yakin sekali Harun Masiku ada di Republik ini. dan saya tahu pasti, ya kita semua, apalagi pimpinan KPK, apalagi Ketua Dewas tahu Masiku tinggal,” kata Benny setengah bercanda saat mempertanyakan keberadaan Masiku kepada pimpinan KPK yang hadir.
Setelah melontarkan joke ini, Benny lantas menerangkan maksudnya. Menurut dia, orang sekelas Harun tentu tidak sulit ditemukan. “Maksud saya adalah, masa orang seperti Masiku tidak bisa kita temukan. Sedih saya. Kasus teroris besar itu, 3×24 jam gampang sekali didapatnya. Masa Masiku, aduh,” tandasnya.
Karenanya, dia meminta KPK untuk tegas dan membongkar keberadaan Masiku dan tidak ‘lama-lama disembunyikan’. “Pak, tolonglah Masiku jangan terus disembunyikan. Tangkap dia sudah. Ya. bisa saja Tuhan yang menyembunyikan dia (Masiku) atau ‘setan’ yang sembunyikan Masiku. Iya kan. Lalu mau siapa lagi?,” tanyanya.Menimpali Benny K Harman, dengan sedikit bercanda, Desmon J Mahesa yang memimpin rapat lantas berkicau. “Ben, (Benny K Harman). Jangan-jangan sudah mati Ben. Masiku,” timpal Desmon.
Menanggapi dugaan Masiku sengaja disembunyikan, Plt Jubir KPK, Ali Fikri tidak mau berspekulasi. "Kami tidak berspekulasi, apakah disembunyikan atau ke mana begitu ya. Kami tidak berspekulasi lebih jauh terkait dengan itu," katanya di Jakarta Kamis (30/1/2020).Kendati demikian, Ali mengingatkan bahwa ada ancaman pidana bagi pihak yang sengaja menyembunyikan ataupun merintangi proses penyidikan KPK. Termasuk dalam kasus tersangka Harun Masiku."Tentunya ya, siapapun yang ternyata sengaja menyembunyikan itu bagian dari merintangi tugas penyidikan," ucapnya.
Dalam kamus kepolisian, di negara manapun dan termasuk di Indonesia. Polisi tidak mengenal istilah "tidak bisa menangkap penjahat". Termasuk perampok uang rakyat alias koruptor, teroris dan lain sebagainya. Pasti bisa ditangkap. Itulah Polisi dengan segala kelebihan yang dimilikinya.Kalau polisi tidak bisa menangkap buronan atau target operasionalnya maka bisa dipastikan ada sesuatu yang mana genting dibalik sebuah masalah tersebut yang tidak diinginkan terungkap. Mungkin ada unsur politis atau kepentingan subyektif lainnya.
Bisa saja buronan tersebut melarikan diri sendiri, bisa jadi sengaja disuruh lari atau disembunyikan. Bisa pula terjadi hal terburuk atau yang bersangkutan dihilangkan atau bunuh diri dan dibunuh. Semua tergantung bobot kasusnya. Tapi disini pula menjadi ujian integritas dan profesionalisme polisi atau rangkaian penegak hukum lainnya.
Polisi harus cepat menemukan Harun Masiku yang masih misteri. Polisi dan KPK harus segera mengamankan data dan jiwa politikus PDIP itu, karena nampak bahwa Harun Masiku ini adalah kunci atas kasus suap yang menyebabkan OTT Wahyu Setiawan yang turut pula ikut memusingkan elit PDIP.
Keanehan Keanehan itu
Perjalanan kasus suap Wahyu Setiawan yang melibatkan aktor utama Harun Masiku memang penuh dengan keanehan keanehan yang sangat kental dengan nuansa rekayasa. Begitu kentalnya bau rekayasa kasus ini sehingga seringkali orang tertawa tawa menyaksikannya. Apa sajakah keanehan keanehan itu ?, ini dia diantaranya :
Penyidik KPK Disandera
Kasus suap Wahyu Setiawan yang melibatkan Masiku telah memunculkan drama penyanderaan terhadap penyidik KPK. Praktisi Hukum Saor Siagian mengungkap adanya tindakan tak pantas yang didapat oleh penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).Dilansir TribunWow.com, Saor Siagian bahkan menyebut tim KPK pernah disandera hingga dipaksa tes urine saat menyambangi Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK).
Melalui tayangan Indonesia Lawyers Club, Selasa (14/1/2020), Saor Siagian pun mengungkit janji Kapolri Idham Aziz yang akan memperkuat lembaga antirasuah itu."Ini sudah diklarifikasi oleh pimpinan KPK bahwa penyidik-penyidik KPK pergi ke Tirtayasa, ke PTIK," kata Saor Siagian.
Lantas, Saor pun menyinggung keberadaan penyidik KPK yang dilindungi undang-undang."Bayangkan penyidik ini dilindungi undang-undang, bukannya dia dibantu untuk melakukan tindakan-tindakan penyelidikan sebagai penegak hukum bukan malah disandera," ucap Saor."Mereka ini bukan sekedar disandera, tetapi bahkan mereka sampai dites urine," ucap Saor.
Kejadian Penyanderaan itu disesalkan oleh Menteri Politik, Hukum, dan Keamanan, Mahfud MD. Ia turut mengomentari soal kabar para penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengalami penyanderaan saat menyambangi Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK).Mahfud MD mengatakan dirinya sedih mendengar isu tersebut.
Menurutnya, penegak hukum seharusnya turut membantu para penyidik KPK dalam melakukan tugasnya memberantas korupsi."Substansinya, saya sedih mendengar hal itu.Ya mestinya kalau petugas penegak hukum itu melakukan wewenangnya mestinya dibantu. Itu substansi urusannya," jelas Mahfud MD dikutip TribunWow.com dari channel YouTube Kompas TV pada Kamis (16/1/2020).
Tim Hukum PDIP Menuntut Balik KPK
Pada Kamis (16/1), Tim Hukum PDIP menyambangi dewan pengawas KPK guna melaporkan pegawai lembaga antirasuah terkait pekerjaan yang dilakukan pada pekan lalu di Gedung DPP PDIP, Jakarta Pusat.Menurut Koordinator Tim Hukum PDIP, I Wayan Sudirta, tim KPK telah melanggar hukum lantaran ingin menggeledah kantor partai tersebut.
Ia menilai penindakan itu musti dibekali dengan surat izin dewan pengawas."Pertanyaannya betul enggak itu surat penggeledahan dalam bentuk izin dari dewan pengawas seperti yang dipersyaratkan dalam Undang-undang Nomor 19 tahun 2019," kata Wayan di Gedung Pusat Edukasi Antikorupsi, Jakarta, Kamis (16/1/2020).
Dari kasus ini memberikan kesan yang buruk terhadap pemberantasan korupsi. Kalau dibilang KPK dilemahkan, itu memang sudah terjadi. Dewan Pengawas KPK dengan leluasa menerima tim hukum PDIP tersebut. Padahal, bisa saja Dewas KPK menolak pertemuan karena posisinya mengawasi pimpinan KPK secara internal, bukan laporan dari luar.
Tidak seharusnya PDI-P mendatangi Dewas KPK, terkait kasus suap yang melibatkan kadernya dan mantan anggota KPU Wahyu Setiawan. Yang lebih tepat dilakukan tim hukum PDI-P adalah menempuh langkah hukum praperadilan, itu kalau PDI-P mempermasalahan terkait proses penegakan hukum.
Seperti yang dikatakan Pakar Hukum Pidana Pencucian Uang dari Universitas Trisakti Yenti Ganarsih "Karena ini kan proses hukum acara, jadi harus pakai hukum acara juga. Ini proses hukum sedang berjalan walaupun KPK misalnya ada yang tidak sah yang dilakukan kan ada proses hukum acara yaitu mungkin ada praperadilan dan sebagainya," ujar Yenti di Tebet, Jakarta Selatan, Ahad (19/1).
Apa yang dilakukan PDI-P diatas, sangat memberikan kesan begitu kuatnya kekuasaan partai politik, sehingga tidak merasa perlu menghargai mekanisme hukum yang berlaku. Tindakan ini memberikan kesan buruk terhadap PDI-P sebagai partai penguasa.
Kita harus mengakui bahwa sudah terjadi pelemahan terhadap KPK, dan pemberantasan korupsi dihambat oleh kekuasaan partai politik. Memang UU KPK adalah buah kesepakatan DPR dan Presiden, namun kalau melihat dari kondisi sekarang ini, secara nyata KPK memang dilemahkan.Prosedur penggeledahan tidak lagi seperti sebelumnya, ada tenggat waktu sebelum penggeledahan, karena harus melalui mekanisme persetujuan Dewas KPK. Dalam proses tenggat waktu tersebut, bisa saja barang bukti sudah diamankan.
Dirjen Imigrasi Dicopot
Berakhir sudah karier Ronny Franky Sompie sebagai direktur jenderal imigrasi Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Mantan Kapolda Bali itu dicopot dari jabatannya oleh Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly, Selasa (20/1/2020).
Ronny kini dialihkan sebagai pejabat fungsional. Berdasarkan surat Menkumham Nomor M.HH.KP.04.02-13, Ronny kini dapat tugas baru sebagai Analis Keimigrasian Utama. Adapun posisi dirjen imigrasi diisi oleh pelaksana harian (plh), yakni Irjen Kemenkumham Jhoni Ginting.
Kasus Harun Masiku membuat jabatan Ronny sebagai dirjen imigrasi selesai. Harun merupakan politikus PDIP yang hingga saat ini menjadi buron KPK dalam kasus suap eks komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Wahyu Setiawan.Pencopotan Ronny tak lepas dari ‘blunder’ Imigrasi. Institusi ini akhirnya mengakui Harun telah berada di Jakarta sejak 7 Januari 2020. Padahal, mereka sebelumnya sempat menyatakan Harun berada di luar negeri sejak 6 Januari.
Fakta yang terungkap kemudian bahwa memang benar ada rekaman CCTV di Bandara Soekarno Hatta yang memperlihatkan kedatangan Harun Masiku pada tanggal 7 Januari 2020.Terjadilah saling tunjuk kesalahan dan akhirnya dengan "Tegas" Menkumham langsung mencopot Dirjen Imigrasi karena dianggap lalai melaporkan kedatangan Harun Masiku ke Indonesia. Logikanya, gara-gara Dirjen Imigrasi salah memberi informasi akibatnya KPK tidak bisa menangkap Harun Masiku.Ini sungguh menggelikan. KPK yang tidak mampu mengendus jejak Harun Masiku tapi Dirjen Imigrasi yang dipecat. Aneh sekali bukan ?
Penyidik KPK Ditarik
Baru-baru ini beredar kabar jika satu orang penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bernama Rosa dan seorang jaksa KPK bernama Yadyn dikembalikan ke instansinya masing-masing.Keduanya ditarik ke instansi asal, padahal sedang menangani kasus dugaan suap yang telah menjerat 4 orang tersangka tersebut.
Rosa dikabarkan telah ditarik ke Polri, sementara Yadyn akan dikembalikan ke Kejaksaan Agung. Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Feri Amsari menilai jika memang benar informasi penarikan Rosa dan Yadyn terkait kasus tersebut, maka dapat dikategorikan adanya upaya menghalang-halangi penyidikan atau obstruction of justice."Saya pikir kalau penarikan (penyidik dan jaksa) itu ada kaitannya dengan proses penyidikan maka harus dianggap tindakan itu adalah tindakan menghalang-halangi penyidikan," ujar Feri saat dimintai konfirmasi, Senin (27/1/2020).
Menurut Feri, setiap orang yang menghalang-halangi proses penyidikan KPK dapat dijerat dengan Pasal 21 UU Pemberantasan Korupsi.Ancaman Pasal 21 tersebut, kata Feri, tidak hanya bisa diterapkan terhadap orang-orang di luar KPK, tapi juga termasuk yang ada di internal KPK, termasuk pimpinan lembaga antirasuah."Kan dia setiap orang, termasuk pimpinan," kata Feri.
Merintangi proses penyidikan atau penuntutan atau obstruction of justice tercantum dalam Pasal 21 UU nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor.Pasal tersebut berbunyi; “Setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tersangka dan terdakwa ataupun para saksi dalam perkara korupsi, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 12 tahun dan atau denda paling sedikit Rp 150 juta dan paling banyak Rp 600 juta.”
Kantor PDIP Belum Juga Digeledah
Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang menyasar eks komisioner KPU, Wahyu Setiawan sudah sudah hampir sebulan lamanya. Namun, hingga kini salah satu lokasi yang sempat didatangi oleh penyelidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak juga digeledah.
Sebagaimana diketahui, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menunda penggeledahan ruangan Hasto di Kantor DPP PDIP dalam kasus suap Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Wahyu Setiawan.Mengulur waktu dalam penggeledahan dapat dimanfaatkan untuk menyembunyikan barang bukti. Hal ini memang suatu keanehan dimana pra pelaku korupsi atau suap diberi kesempatan untuk menghilangkan barang bukti.
Pada Rabu (8/1/2020), penyidik KPK mendatangi kantor DPP PDIP untuk melakukan penyegelan di ruangan Hasto. Namun, upaya penyidik masuk ke dalam ruangan dicegah oleh sekuriti kantor.Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar menegaskan kedatangan penyidik KPK ke kantor DPP PDI Perjuangan bukan untuk melakukan penggeledahan melainkan memasang garis KPK untuk mengamankan ruangan. "Itu memang karena bukan penggeledahan, tapi itu mau buat KPK line untuk mengamankan ruangan," kata Lili, Kamis (9/1/2020).
Para penyidik telah dilengkapi dengan surat tugas, namun saat hendak memasang garis KPK sekuriti kantor tak mengizinkan mereka masuk sebelum mendapatkan persetujuan dari pimpinan."Mereka sudah berkomunikasi dengan sekuriti di kantor, lalu sekuriti menghubungi atasan mereka. Tapi terlalu lama, karena mereka (penyidik) harus berbagi untuk menempatkan KPK di objek lain, kemudian ini (kantor DPP PDIP) ditinggalkan," ungkapnya.
Namun hingga sekarang penyegelan atau penggeledahan itu masih belum juga dilakukan sehingga menimbulkan pertanyaan dikalangan publik, ada apakah kiranya ? apakah masih berlangsung negosiasinya ?
Diakui atau tidak,proses penggeledahan kantor PDI-P pun begitu rumit dihadapi penyidik KPK. Kalau cuma untuk melindungi Harun Masiku, kenapa Tim Hukum PDI-P harus begitu ngotot untuk mempertahankan penggeledahan kantornya. Kemudian muncul lagi pertanyaan lain, siapa sebetulnya yang sedang dilindungi ?
Inikan sebuah pertanyaan yang aneh, seharusnya kalau PDI-P mendukung pemberantasan korupsi tidak perlu menghalang-halangi tugas dan kewajiban KPK untuk melakukan penggeledahan. Apa sih sebetulnya yang mau dilindungi PDI-P terhadap penggeledahan tersebut?
Kenapa Masiku harus “Dilindungi ?”
Yang terjadi sebenarnya memang hanya kasus suap-menyuap, tapi aneh dan ajaibnya mengapa sampai harus beramai-ramai melindungi Harun Masiku ini. Mungkinkah kalau ketahuan satu, bisa ketahuan semuanya ?. Sampai Yasonna Laoly, Menteri Hukum dan HAM harus turun tangan dalam menyelamatkan PDIP, walau beliau dinyatakan bukan mewakili pemerintah, tetap saja jabatannya yang saat ini kan mewakili pemerintah.
Mungkin turun tangannya Menteri Hukum dan HAM tersebut dimaksudkan untuk menyelamatkan kedudukan PDI-P dimata publik yang bisa jadi akan mempengaruhi hasil dari Pilkada 2020 nanti. Akan tetapi, dengan turun tangannya Yasonna Laoly, yang memegang jabatan sebagai Menteri Hukum dan HAM tersebut malah mengindikasikan bahwa ada permainan juga di pemerintahan sana, hingga ada rasa takut ketahuan. Apalagi ini yang tertangkap Komisioner KPU pula, dikuatirkan bisa merembet ke isu pilpres curang.
Kini dengan belum tertangkapnya Masiku, telah banyak menimbulkan korban “yang tidak berdosa”. Menkumham Yasonna Laoly memecat Dirjen Imigrasi Ronny Sompie, karena sang Dirjen jujur berkata apa adanya tentang keberadaannya, sedang Sang Mentri yang masih Kader PDIP itu berusaha membela partainya dan berkata sebaliknya.
Akibat Harun Masiku pula, Mentri Yasonna didesak untuk dipecat oleh Jokowi karena dianggap berbohong dan dianggap bertanggung jawab atas buronan KPK yang turut disembunyikan oleh Sang Mentri.
Harun Masiku juga telah membikin Jokowi turut pusing karena Jokowi juga selain Presiden adalah Petugas Partai yang tunduk dan taat terhadap ketumnya Megawati Soekarnoputri. . Jokowi dianggap takut perintahkan penangkapan meski sebagai Prediden harus mempertanggungjawabkan di hadapan publik dan Rakyat Indonesia.
Megawati juga telah dibikin pusing oleh Harun Masiku ini karena ada tanda tangannya bersama Sekjennya Hasto di surat yang di kirim ke KPU. Konon akibat masalah itu , Hasto ngumpet juga saat mau ditangkap KPK. Juga kantor Partai PDIP yang gagal digeledah KPK karena dibela Dewas (Dewan Pengawas) KPK yang diangkat Jokowi.
Sepertinya semakin lama Masiku tidak ditangkap semakin mengesankan kalau ia memang sengaja dilindungi. Sang Ketum partai penguasa bersama presiden bisa dianggap bersekongkol melindungi Masiku karena tidak keluarkan perintah agar Masiku menyerahkan diri dan kooperatif dengan KPK.
Akhirnya orag akan mengambil kesimpulan bahwa Masiku memang sengaja di “Sembunyikan” karena memegang rahasia besar. Kalau tertangkap bisa membuka kedok sejumlah orang penting di negeri ini. Sehingga dia di suruh lari dan sembunyi?
Anehnya, KPK kelihatannya juga sudah angkat tangan untuk menangkapnya, begitu juga Kepolisian dan Kejaksaan. Dan ini bisa diartikan Masiku manusia super hebat, karena bisa membuat Megawati sebagai Ketum Partai berkuasa tak berdaya, tersandera, juga Presiden Jokowi dan aparat-aparat penegak hukum bawah (KPK, Jaksa, Polisi) semua dibuat tidak berdaya. Dan ini semua menjadi sesuatu yang aneh dan memalukan tentunya.
Yang muncul dipermukaan sekarang ini adalah, diatas kekuasaan Presiden, ada kekuasaan partai politik. Kalau dugaan dan kesan ini adalah sebuah realitas politik yang sebenarnya, alangkah sangat memprihatinkan kondisi politik di negara kita.Pejabat negara begitu pintar memainkan drama dan merangkai kata, hingga masyarakat terbuai dengan harapan hampa.[ljc]