Oleh: Tony Rosyid
Setelah Alexis dan Tiga Spa di Pondok Indah ditutup, kita giliran diskotik yang ditutup. Namanya Golden Crown.
Kamis (6/2) dini hari, 107 pengunjung diskotik Golden Crown positif narkoba. Laporan disampaikan BNNP ke pemprov DKI. Setelah dikaji dan valid, maka hari itu juga Anies minta diskotik di Mall Glodok Jakarta Barat yang ramai pengunjung itu ditutup. Closed! Gak ada ampun. Kerja BNNP DKI dan sikap tegas Anies layak diapresiasi. Dapat sepeda.... Hus!
Pemprov DKI secara resmi membuat surat pencabutan ijin diskotik Golden Crown. Surat keputusan No 10/2020. Kamis, hari itu juga diproses administrasinya, dan jumat resmi penutupan. Ijin dicabut, gedung disegel.
Langkah cepat dan tegas. Anies gak pernah main-main soal narkoba dan penyalahgunaan dunia hiburan. Hanya butuh satu bukti pelanggaran, tutup. Komitmen tegakkan aturan. Gak pakai marah-marah. No gebrak meja. Tak perlu panggil kamera. Sebab, marah, gebrak meja dan shoot kamera bukan indikator ketegasan. Ketegasan itu ada pada sikap dan keputusan.
Tutup Alexis, itu baru tegas. Segel reklamasi, itu bernyali. Beli Rumah Sakit Sumber Waras, itu bukan ketegasan bro! Apalagi makian kepada seorang ibu miskin. No! Itu sama sekali gak ada hubungannya dengan urusan ketegasan. Penjarakan orang yang ngebully? Kalau ini, No komen!
Kenapa Golden Crown ditutup? Karena melanggar aturan. Aturan yang dilanggar adalah Pergub No 18 Tahun 2018. Diantaranya pasal 38 yang berbunyi bahwa setiap pengusaha pariwisata wajib mengawasi dan melaporkan apabila terjadi transaksi dan atau menggunakan/konsumsi narkotika dan zat psikotropika lainnya di lingkungan. Dan pasal 56 terkait pelanggaran terhadap penyalahgunaan dan pembiaran penggunaan narkotika pada pengunjung di tempat usaha.
Anies memang cerdas. Terbitkan pergub dulu untuk memulai langkah tertibkan dunia hiburan malam. Berbasis aturan ini, Anies melangkah secara terencana, terstruktur dan sistematis. Ternyata, bukan hanya pelanggaran pemilu saja yang terstruktur dan sistematis bro?!
Langkah Anies tepat. Mengingat Indonesia termasuk pasar narkoba yang cukup besar di dunia. Tahun 2014 saja, 219,44 ton sabu beredar di negeri ini. 158,52 ton ganja dikonsumsi. Belum narkoba jenis baru yang terus muncul. Ada minimal 74 jenis narkotika. Sekitar 63 triliun kerugian akibat narkotika. Wajar jika BNN bilang bahwa Indonesia darurat narkoba.
Bahaya narkoba lebih dahsyat dari virus corona. 40-50 orang per hari mati karena narkoba, kata BNN. Sementara akibat virus corona? Lebih kecil dari narkoba. Virus Corona membuat dunia geger. Kenapa serangan virus narkoba membuat masyarakat tetap tenang? Kecuali pihak keluarga yang anggotanya kecanduan. Pusing sendirian!
Peredaran narkoba masif. Laris manis. Tidak saja di kalangan artis, tapi juga kalangan orang kere. Tidak saja orang dewasa, tapi juga anak-anak SD. 2,3 juta pelajar dan mahasiswa menikmati narkoba (survei BNN-LIPI). Juga 1,5 juta pekerja. Total, tak kurang dari 3,6 juta masyarakat Indonesia konsumsi narkoba. Itu yang terdeteksi BNN.
Yang gak terdeteksi? KPAI malah punya data bahwa 5,9 juta anak-anak di bawah usia 18 Tahun konsumsi narkoba. Ini bukti bahwa pengedar sangat kreatif dalam memasarkan barang haram ini. Modusnya pun beragam dan terus berkembang. Selalu membuka dan memperluas wilayah pemasarannya.
Memang, peredaran uang di bisnis narkoba luar biasa besar. Satu kilogram narkoba dibeli dari produsen luar negeri seharga 50 juta rupiah. Masuk ke Indonesia via kapal laut jadi 375 juta rupiah. Beredar dan dibeli bandar di darat bisa miliaran rupiah. Lalu diecer per gram. Ini beredar di semua wilayah Indonesia.
Tidak hanya di kota-kota, tapi sudah masuk ke desa-desa. Tidak saja di tempat terbuka, bahkan juga di lapas (penjara). Banyak napi pun jualan narkoba. Apalagi ongkos sewa kamar dan hidup di penjara makin mahal. Tak kalah mahal dengan Di luar penjara. Jualan narkoba akhirnya jadi salah satu solusi untuk memenuhi kebutuhan hidup di dalam lapas. Begitu cerita kawan saya di BNN.
Dengan uang besar, pengedar narkoba bisa membeli peralatan IT paling canggih, bahkan lebih canggih dari kemampuan IT milik BNN. Belum lagi kemampuan mereka menyogok para pejabat dan oknum aparat.
Seorang anggota BNN cerita ke saya. Mereka bekerja diantara dua pilihan di depan: surga atau neraka. Kuat-kuatkan iman, katanya. Pengakuan ini seolah membuka begitu hebatnya lobi dan strategi para pengedar narkoba dalam menggoda oknum aparat. Kalau duit bicara, siapa yang gak bersujud bung... Bukan hanya iblis, agamawan pun rela ngecer ayat suci... Dan hakim akan gunakan pasal hukum untuk bertransaksi. Maksudnya oknum hakim. Harus ada kata "oknum". Ini penting bro.
Saatnya Indonesia lebih serius memasifkan perang melawan narkoba. Tidak saja masif, tapi harus lebih agresif. Bukan hanya melawan para pengedar, tapi juga para oknum aparat dan pejabat yang terlibat dan mendukung peredaran narkoba. Harus ada tindakan "tanpa ampun".
Apa yang dilakukan Anies menutup Golden Crown harus jadi trigger untuk menumbuhkan sikap lebih tegas, masif dan agresif melawan bisnis yang melanggar aturan, termasuk peredaran narkoba. Langgar hukum, sikat! Gak peduli milik siapa, dan berapa setorannya. Sikat!