Oleh: Ragil Rahayu, SE
CAK Nun pernah menyampaikan, di barat yang kapitalis itu rakyat bebas berpendapat, tapi urusan makan harus cari sendiri. Di negara komunis, rakyat diurusi makannya, tapi tidak boleh berpendapat. Di Indonesia, sudahlah makan tidak diurusi, tak boleh berpendapat pula.
Pernyataan Cak Nun ini makin teruji kesahihannya akhir-akhir ini. Ketika rakyat mengkritik ekonomi Indonesia yang loyo, pemerintah balik menuding rakyat kufur nikmat.
"Kita harus bersyukur bahwa pertumbuhan ekonomi masih di atas 5 persen, 5,02 persen. Negara yang lain-lain bukan hanya turun, tapi anjlok. Kita ini kalau enggak bersyukur, namanya kufur nikmat," ujar Jokowi di Istana Negara, Jakarta pada Rabu, 5 Februari 2020.
Pemerintah Kufur Nikmat
Tudingan kufur nikmat ini menunjukkan bahwa pemerintah suka menyalahkan rakyat. Pemerintah menuntut rakyat selalu bersyukur, meski ekonomi lesu, meski harga barang tinggi, meski PHK dimana-mana, meski neraca perdagangan defisit, meski APBN tekor, meski subsidi dicabut, meski tambang strategis dikuasai asing dan meski 115 juta orang rawan jatuh miskin. Atas semua keruwetan ekonomi ini rakyat disuruh bersyukur. Bersyukur atas apa?
Bersyukur adalah sikap yang diperintahkan Allah SWT pada muslim jika mendapat nikmat dari-Nya. Kondisi ekonomi yang nyungsep seperti sekarang tentu bukan nikmat, melainkan musibah. Atas musibah, muslim justru diperintahkan untuk istirja' (inna lillahi wa inna ilaihi raji'un) dan juga istigfar (astagfirullah).
Rakyat Indonesia juga sudah terkenal pandai bersabar dan bersyukur atas segala kondisi yang dialami. Melihat kecurangan pemilu, bisa saja rakyat melakukan people power, tapi tidak dilakukan. Ketika BBM naik di Prancis, rakyat langsung demo di Paris hingga anarkis. Di Indonesia, BBM naik berkali-kali, rakyat hanya pasrah. Kurang sabar apa rakyat Indonesia? Itu pun masih dianggap kufur nikmat.
Jangan-jangan yang kufur nikmat adalah pemerintah. Allah SWT sudah menganugerahkan alam Indonesia nan kaya luar biasa. Semua sudutnya bernilai ekonomi. Gunung, hutan, sawah, ladang, kebun, sungai, laut, perut bumi, dasar laut, dan lainnya semua menghasilkan kekayaan. Dengan semua sumber daya alam yang melimpah dan gratis tersebut, kenapa pemerintah tak kunjung mampu membuat rakyat Indonesia sejahtera? Telah tujuh dekade Indonesia merdeka, tapi kita masih terjajah oleh kemiskinan.
Sepertinya pemerintah yang harus istigfar. Mengakui kesalahan dalam mengelola Indonesia selama ini, hingga gagal mewujudkan kemakmuran bagi rakyat. Jangan malah sibuk menjadikan rakyat kambing hitam. Saat pertumbuhan naik sedikit, diklaim sebagai prestasi pemerintah. Tapi jika pertumbuhan ekonomi mandeg, rakyat dituding kufur nikmat. Duh, rakyat terus yang disalahkan.
Padahal faktanya memang ekonomi mandeg. Sejak 2014 ekonomi nasional hanya mentok di kisaran 5 persenan. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2014, ekonomi RI tumbuh 5,02 persen. Lalu di 2015 hanya 4,79 persen. Pada 2016 realisasi pertumbuhan ekonomi ada di 5,02 persen. Selanjutnya, di 2017, ekonomi RI tumbuh 5,07 persen. Terakhir di 2018, pertumbuhan ekonomi tercatat sebesar 5,17 persen.
Mirisnya, pertumbuhan ekonomi 5 persen ini bukan prestasi pemerintah, melainkan "prestasi" rakyat. Alasannya, pertumbuhan ekonomi ini sebagian besar ditopang oleh konsumsi. Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo menyatakan sumber pertumbuhan ekonomi kita itu adalah dari konsumsi rumah tangga. Harusnya, atas pertumbuhan ekonomi 5 persen ini, pemerintah berterimakasih pada sumbangsih rakyat.
Pemimpin yang Baik
Sikap pemerintah yang menuding rakyat kufur nikmat ini, mencerminkan watak kepemimpinannya. Ada ungkapan, sebaik-baiknya pemimpin ialah yang rakyat mencintai mereka dan mereka pun mencintai rakyat, rakyat mendoakan kebaikan untuk mereka dan mereka pun mendoakan kebaikan untuk mereka. Sedangkan seburuk-buruk pemimpin ialah yang rakyat membenci mereka dan mereka pun membenci rakyat, juga yang melaknat mereka dan mereka pun melaknat rakyat.
Gambaran tersebut memberi kita parameter kepemimpinan. Sosok seperti apa pemimpin Indonesia saat ini. Pemimpin yang baik tak suka menuduh rakyatnya, tapi sibuk memuhasabahi diri sendiri. Pemimpin yang baik bekerja keras untuk kemakmuran rakyat, bukan sibuk menjual aset rakyat. Pemimpin yang baik mau mengakui kesalahan dan siap memperbaikinya. Bukan sibuk berdalih dan mengumbar tudingan.
Namun, sistem kapitalisme yang menjajah dunia dan termasuk Indonesia saat ini tak akan bisa memproduksi pemimpin yang baik. Karena setiap pemimpin akan selalu didikte oleh korporasi (kapitalis) untuk mengikuti mau mereka. Masih ingat triliunan uang negara musnah gara-gara skandal BLBI? Kini kasus yang sama terulang, yaitu kasus Jiwasraya.
Sebaliknya, rakyat dibiarkan berjuang sendiri untuk keluar dari kubangan kemiskinan. Sejatinya para penguasa itu tak bekerja untuk rakyat, tapi untuk cukong. Solusinya adalah mewujudkan kepemimpinan yang baik, yaitu yang sistemnya baik dan orangnya juga baik. Semoga terwujud.
*)Pemerhati ekonomi dari Komunitas Revo-Ekonomi.