Kerajaan Palsu, Antara Sindiran Pada Penguasa dan Pengalihan Isu

Kerajaan Palsu, Antara Sindiran Pada Penguasa dan Pengalihan Isu

Gelora Media
facebook twitter whatsapp


GELORA.CO - Belakangan ini muncul kerajaan-kerajaan fiktif dalam waktu berdekatan di Indonesia. Sebut saja yang menamakan diri sebagai Keraton Djipang di Blora, Keraton Agung Sejagat (KAS) di Purworejo, Sunda Empire di Jawa Barat hingga munculnya Negara Rakyat Nusantara. Kemunculan beberapa kerajaan palsu tersebut telah bikin geger warga.

Mereka memiliki raja dan ratu, seragam bahkan padepokan kerajaan segala. Lebih gilanya lagi, kerajaan-kerajaan ini langsung punya banyak pengikut yang secara suka rela ingin menjadi rakyatnya. Sebenarnya ini semua fenomena apa ?. Apakah ini sebuah sindiran atau pengalihan isu belaka ? Fenomena Apa Itu ? Munculnya kerajaan kerajaan palsu di Indonesia akhir akhir ini memang menimbukan tanda tanya, fenomena apa ?.

Terlebih lagi, orang yang ingin menjadi bagian kerajaan ini harus merogoh kocek jutaan rupiah. Uang tersebut (konon) digunakan untuk pengadaan baju kerajaan dan pembangunan infrastruktur kerajaan. Lantas, sang Raja mengklaim bahwa uang tersebut adalah "investasi" yang dapat memperbaiki penghidupan mereka. Ternyata, iuran dari korban inilah yang memampukan kerajaan kerajaan palsu itu untuk menunjukkan dirinya kepada publik.

Mereka bahkan ada yang mengadakan konperensi pers untuk menunjukkan keberadaannya. Akhirnya, konferensi pers inilah yang viral di media sosial. Membaca berita berita tentang munculnya kerajaan kerajaan palsu itu bisa membuat kita tertawa terpingkal pingkal. Kok masih ada di zaman modern sekarang ini seseorang mudah sekali ditipu dengan sesuatu yang boleh dikatakan tidak masuk akal dan mengada ada.

Pertanyaanpun muncul: Apakah manusia sekarang memang begitu mudah dibodohi?. Sampai ratusan orang mau mengikuti orang kerajaan kerajaan palsu ini?" Fenomena ini lucu dan miris dalam waktu yang sama. Mengapa orang begitu mudah ditipu dengan adanya kerajaan kerajaan palsu ini, ternyata salah satu alasannya, para pendiri kerajaan menggunakan semangat romantisme masa lalu.

Sebagai contoh pendiri KAS Totok Santoso berusaha membangkitkan romantisme antara KAS dengan kerajaan Majapahit. "Keberadaan kami adalah menunaikan janji 500 tahun dari runtuhnya Kerajaan Majapahit tahun 1518. Wilujengan Keraton Agung Sejagat ini adalah untuk menyambut kehadiran Sri Maharatu (Maharaja) Jawa kembali ke Jawa.

"Pantas aja ratusan orang tersirep oleh KAS. Ternyata, Totok Santoso sebagai dalang penipuan menggunakan romantisme sejarah yang mistik-delusif sebagai landasan operandinya. Kerajaan Majapahit adalah nama yang membangkitkan memori masa lalu yang berkabut dan misterius bagi manusia Jawa. Sehingga, para korban merasa bahwa bergabung dalam KAS akan membuat mereka terlibat dalam mengembalikan memori itu.

Mengikuti slogan kampanye Trump 2016, Make Nuswantoro Great Again. Melihat hal ini, sejarah seperti terulang kembali. Pada tahun 1942, Nippon menipu rakyat Jawa menggunakan Jangka Jayabaya, supaya percaya bahwa Jepang adalah liberator, bukan penjajah. Di tahun 2020, rakyat Jawa kembali ditipu menggunakan nama Majapahit, supaya percaya bahwa Totok Santoso adalah penyelamat dunia, bukan penipu kelas kambing.

Untungnya, kekuatan media sosial berhasil menghentikan penipuan penipuan ini. Dua hari setelah konferensi pers tersebut, Sang Raja dan Ratu Sejagat diringkus polisi. Keduanya dijerat dengan pasal penipuan. Mendengar berita ini membuat banyak orang bernafas lega. Ternyata, ini baru pucuk dari gunung es kerajaan palsu di negeri ini.

Rupanya romantisme sejarah juga ikut dibangkitkan dalam kerajaan palsu Sunda Empire. Sama seperti KAS. Bedanya, jika romantisme sejarah KAS cenderung mistik-delusif, maka romantisme sejarah Sunda Empire adalah hasil cocoklogi. Masih ingat dengan UU Agraria (Agrarische Wet) 1870? Hukum pertanahan yang berlaku di Hindia Belanda itu dijadikan landasan legitimasi negara-negara yang berada di dalam Sunda Empire.

Mereka seperti penyewa teritori yang harus memperbaharui kedaulatannya setiap 75 tahun sekali. Mengapa 75 tahun? Sebab dalam UU itu, investor asing di Hindia Belanda dapat menyewa lahan untuk perkebunan sampai 75 tahun. Bayangkan, nation-states disamakan derajatnya dengan investor multinasional? Astaga. Siapapun yang membuat cocoklogi ini pikniknya kurang jauh.

Pantas saja Gubernur Ridwan Kamil mengatakan banyak orang stress. Ada-ada saja orang yang percaya akan kerajaan palsu. Sebuah mesin penipuan dengan romantisme sejarah yang ngawur dan ajakan yang penuh lelucon. Lelucon yang lama-lama tidak lucu dan berbahaya kalau terus bergaung di ruang publik. Menimbang pada kenyataanbahwa peristiwa serupa kerap terjadi sejak dahulu, tentu pertanyaannya mengapa selalu terdapat kelompok masyarakat yang hanyut di dalam cerita-cerita kerajaan tersebut?

Konteks masalah tersebut dapat kita jawab dengan konsep psikologi yang ditemukan oleh psikolog, Carl Hovland yang bernama sleeper effect atau efek tertidur. Efek tertidur yang dimaksud di sini terkait dengan mereka yang mempercayai suatu propaganda atau konspirasi terjadi karena adanya kecenderungan psikologis manusia untuk mengabaikan atau cepat melupakan fakta – atau manusia cenderung tertidur melihat fakta.

Efek tersebut tercipta tidak lain karena keterbatasan dari memori manusia itu sendiri yang cenderung lebih cepat memudarkan atau melupakan sumber informasi daripada informasi atau argumentasi yang diterima. Dengan kata lain, ini sebenarnya menjelaskan bahwa kognisi manusia sebenarnya lebih tertarik pada suatu informasi ketimbang sumber informasi itu sendiri.

Efek tertidur terhadap fakta ini dengan jelas terlihat dari keterangan Toto sang Raja Keraton Agung Sejagat ataupun Rangga yang merupakan petinggi di Sunda Empire yang menyebut berbagai cerita konspiratif dengan dalih inilah sejarah yang sebenarnya. Bayangkan saja, di tengah revolusi teknologi informasi yang membuat sekat-sekat informasi sudah tidak lagi terasa, bagaimana mungkin terdapat pihak-pihak yang tidak dapat mencari tahu bagaimana NATO atau PBB terbentuk?

Merujuk pada efek tertidur, kita tentu dapat memahami mengapa para pengikut Sunda Empire menjadi percaya terhadap cerita konspiratif terkait NATO dan PBB yang disebut memiliki pertautan dengan Bandung. Sebuah Sindiran Munculnya kerajaan-kerajaan palsu di Nusantara akhir akhir ini ternyata bukan sekadar karena orang tersirep dengan romantisme masa lalu.

Ada juga yang menilai munculnya kerajaan palsu itu sebagai sebuah sindiran terhadap fenomena yang terjadi di Indonesia. Yang terjadi di Indonesia saat ini banyak fenomena palsu beredar dan dipertontonkan secara fulgar oleh penguasa. Ada janji janji palsu, ada program kerja palsu, ada harapan palsu dan ada juga pejabat palsu karena sebenarnya ia adalah sebuah boneka yang dikendalikan oleh dalang dalangnya.

Selain dipertontonkan oleh elite politik fenomena palsu sebenarnya juga terjadi dalam kehidupan sehari hari dan publik dengan mudah menemukannya. Contoh gigi, beras, obat, air zamzam, dukun, uang sampai sumpah, bisa dibikin palsu semuanya. Bahkan, ada juga mengaku nabi pada hal jelas jelas palsu alias tidak sesuai dengan kenyataan yang ada.

Sehingga hal hal yang sifatnya palsu itu sebenarnya sudah biasa ditemukan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Fenomena ini telah membuat kecewa rakyat dimana mana sehingga mereka ingin melampiaskan kekecewaannya. Cara melampiaskan kekecewaan itu antara lain dengan mendirikan kerajaan kerajaan palsu untuk menyaingi NKRI yang dinilainya juga palsu.

Sindiran Ketidakpuasan

Makanya munculnya kerajaan kerajaan palsu di beberapa daerah, dianggap hanya sebuah sindiran untuk lucu-lucuan. Sekadar hiburan di tengah kasus-kasus besar korupsi yang melibatkan para pemegang kekuasaan. Munculnya kerajaan palsu itu merupakan sindiran keras terhadap para elite politik yang dipilih rakyat dengan biaya besar, tapi miskin teladan.

Tak bisa menghibur rakyat.Para elite yang justru mempertontonkan dagelan-dagelan vulgar yang tidak menghibur rakyat. Mereka justru membuat rakyat menangis. Terhina akal sehatnya. Itulah yang sering kita saksikan sekarang. Bangsa ini sudah lama tak melahirkan Hatta, Natsir, Jenderal Hoegeng atau Baharuddin Lopa. Bangsa ini sudah lama tak melahirkan Negarawan.

Yang seringkali muncul hanyalah politisi yang selalu berjanji membangun jembatan walaupun di situ tak ada sungai. Politisi yang kerap kali membuat sebuah kepalsuan dan mengubahnya menjadi sesuatu yang terhormat. Di antara para politisi sendiri, sebenarnya sudah tahu bahwa mereka sama-sama palsu. Tapi, siapa yang mau menghentikan itu semua ketika tidak ada yang memberi teladan?.

Cukupkah hanya dengan sebuah sindiran ? Hanya Pengalihan Isu Selain sebuah sindiran, fenomena Keraton Agung Sejagat,Sunda Empire serta yang lain lainya diduga hanya sebuah pengalihan isu belaka. Dugaan ini dilontarkan oleh politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Hidayat Nur Wahid yang menyatakan bahwa kasus kerajaan palsu itu diduga hanya pengalihan isu atas kasus-kasus besar yang diduga terjadi di sejumlah perusahaan milik negara seperti PT Asuransi Jiwasraya (Persero) dan PT Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia atau disingkat ASABRI (Persero) dan Pelindo

"Pengalihan issu apa lagi nih? Tapi nggak akan laku. Warga yang berakal sehat dan cinta NKRI akan makin focus kawal penanganan kasus-kasus korupsi trilyunan rp (jiwa sraya, asabri, pelindo dll), bpjs, ott kpk, dan keutuhan atau kedaulatan NKRI terkait Natuna dan Papua," kata @hnurwahid di Twitter. Kecurigaan juga di endus oleh Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting Pangi Syarwi Chaniago yang menduga, ada operasi intelijen untuk melakukan pengalihan isu penting yang menimpa bangsa ini.

Diantaranya soal kerugian negara triliunan rupiah dari kasus PT Asuransi Jiwasraya (Persero) dan PT Asabri (Persero) serta kasus mantan Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPK) Wahyu Setiawan. “Isu selalu dipakai untuk mentupi isu lain, ini sudah lumrah dan kita sudah maklum. Terkadang untuk mengalihkan dan membuat isu baru, ada operasi dan narasi ikut campur intelijen,” kata Pangi kepada Indopolitika.com di Jakarta, Senin (20/1/2020).

Oleh karena itu, wajar kita menyaksikan setiap isu yang bising di gelanggang ruang publik seperti panas tahi ayam, panas di awal, kemudian menguap entah kemana,” tambahnya.Jadi tidak heran, lanjut Pangi, banyak kasus besar yang nasibnya akan berujung ketidakjelasan. Dimana, aktor intelektual selalu tidak dapat dibongkar. Pada konteks munculnya Keraton Agung Sejagat di Purworejo dan Sunda Empire di Bandung, Profesor Salim Said benar-benar senada dengan Presiden ke-32 Amerika Serikat (AS), Franklin Delano Roosevelt yang menyebutkan bahwa “di dalam politik tidak ada hal yang terjadi secara kebetulan.

Jika itu terjadi, kita dapat bertaruh bahwa hal tersebut telah direncanakan”. Atas berbagai fenomena tersebut, Salim Said menegaskan mestilah terdapat kepentingan yang bersembunyi di belakang viralnya fenomena tersebut, baik itu kepentingan ekonomi maupun kepentingan politik. Sementara itu di acara ILC, sejarawan Ridwan Saidi juga menyimpulkan hal yang sama bahwa terdapat hidden system yang merancang viralnya Keraton Agung Sejagat maupun Sunda Empire dan yang lainnya.

Menurutnya, viralnya fenomena ini ditujukan untuk memecah fokus masyarakat terhadap isu yang tengah menyedot perhatian publik, seperti kasus Natuna, Asabri maupun Jiwasraya.Tentu pertanyaannya, benarkah viralnya Keraton Agung Sejagat dan Sunda Empire ditujukan untuk memecahkan fokus masyarakat ataupun memiliki kepentingan politik tertentu di belakangnya?

Melihat berbagai keganjilan yang ada, simpulan Salim Said dan Ridwan Saidi terkait adanya kepentingan tertentu maupun adanya usaha untuk memecah perhatian masyarakat nampaknya memiliki alasan yang cukup kuat. Pertama, Keraton Agung Sejagat ataupun Sunda Empire sudah sejak bertahun-tahun yang lalu didirikan. Video pidato Sunda Empire yang viral di sosial media beberapa waktu yang lalu juga diambil pada 2018.

Hal ini tentu menimbulkan pertanyaan, mengapa keduanya baru viral saat ini atau mungkin tepatnya diviralkan? Kecurigaan diviralkannya fenomena ini diperkuat dengan pengakuan Kepala Bidang Ideologi dan Wawasan Kebangsaan (Kesbangpol) Bandung, Sony yang menyebutkan Sunda Empire sebenarnya telah dibubarkan oleh Kodam III/Siliwangi pada 2018 lalu.

Tidak hanya itu, ternyata terdapat pertalian yang erat antara Keraton Agung Sejagat dengan Sunda Empire karena Toto Santosa yang merupakan Raja Keraton Agung Sejagat pernah menjadi anggota Sunda Empire sebelum memutuskan membentuk kerajaannya sendiri. Kedua, pada Desember 2019, pihak kepolisian menemukan terdapat uang senilai Rp 1,4 miliar masuk ke rekening Toto yang tidak jelas sumbernya dari mana.

Pasalnya, tidak mungkin uang sebesar itu dikirimkan pihak tertentu secara “iseng”, dan bagaimana caranya nomor rekening Toto diketahui? Bukankah tidak mungkin pihak sembarang mampu mengetahui nomor rekening seseorang? Keanehan ini sangat relevan dengan kecurigaan Ridwan Saidi bahwa viralnya fenomena ini besar kemungkinan telah disiapkan beberapa bulan sebelumnya, atau hanya menunggu waktu yang tepat untuk dimunculkan ke publik.

Budi Gunawan (BG) selaku Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) juga telah menuturkan bahwa Keraton Agung Sejagat dan Sunda Empire sebenarnya telah lama dideteksi. Anehnya, jika telah lama dideteksi, mengapa tidak sedari dulu ditindak? Ketiga, seperti yang disebutkan sebelumnya, viralnya fenomena ini begitu bertepatan dengan berbagai isu negatif yang tengah mendera pemerintah.

Melihat kedekatannya, agaknya sulit bagi kita untuk memahami bahwa peristiwa ini hanyalah kebetulan semata. Lebih hebatnya lagi, Keraton Agung Sejagat dan Sunda Empire bahkan diangkat menjadi topik pembahasan di acara ILC dengan judul “Siapa Di Balik Raja-Raja Baru?” Melihat polanya, acara yang telah menjadi standar kecerdasan dalam melakukan diskursus politik ini tidak pernah sembarangan dalam mengangkat suatu topik.

Sebelum menjadi topik di ILC, fenomena tersebut bahkan telah malang-melintang di berbagai media massa. Dengan kata lain, viralnya kasus ini memang telah benar-benar memecah perhatian publik terhadap berbagai isu negatif yang tengah terjadi. Singkat kata, Keraton Agung Sejagat dan Sunda Empire, benar-benar telah menciptakan kebisingan politik yang begitu baik.

Konteks masalah ini sangat sesuai dengan yang ditulis oleh Ed Rogers dalam The Politics of Noise, bahwa kebisingan politik dapat membuat publik menjadi tidak fokus pada inti masalah yang tengah terjadi karena lebih menyibukkan diri membahas kebisingan politik yang tercipta. Menciptakan kebisingan politik untuk memecah perhatian publik tersebut dapat kita pahami melalui teori komunikasi publik yang disebut dengan manajemen isu.

Manajemen isu adalah proses strategis dan antisipatif yang membantu organisasi – dalam konteks ini adalah pemerintah – untuk mendeteksi dan merespons berbagai perubahan tren atau isu yang muncul di lingkungan sosial-politik. Karena perubahan tren dan isu tersebut dapat mengkristal menjadi suatu masalah yang dapat memberikan dampak destruktif, maka organisasi terkait perlu untuk memberikan respon yang tepat untuk mencegah terjadi kristalisasi masalah.

Salah satu caranya dengan melemparkan isu agar isu yang tengah terjadi tidak mengkristal – atau yang kita sebut dengan pengalihan isu. Pengalihan isu adalah hal yang sangat lumrah terjadi – khususnya sebagai strategi politik pemerintahan yang berkuasa. Dengan menggunakan berbagai instrumen yang dimiliki, kapabilitas untuk mengalihkan isu, tentu sangat dimungkinkan demi menciptakan koridor situasi nasional yang kondusif.

Presiden Jokowi sendiri, ketika ditanya pendapatnya oleh media massa terkait Keraton Agung Sejagat menjawab “itu hiburan lah” sambil tertawa. Mungkinkah viralnya fenomena ini memang diperuntukkan untuk memberikan semacam hiburan kepada masyarakat karena tengah begitu tegang dengan berbagai isu negatif yang tengah terjadi?. Atau memang kasus ini dimaksudkan agar masyarakat tak terlalu banyak bereaksi terhadap skandal besar macam Jiwasraya dan Asabri yang merugikan negara hingga belasan triliun rupiah?
[ljc]
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita