GELORA.CO - Peristiwa Talangsari, Lampung, terjadi 31 tahun silam. Tepatnya, 7 Februari 1989.
Namun, kenangan hitam para korban peristiwa berdarah itu masih lekat dalam ingatan. Salah satunya, Amir. Di usia yang tidak dikatakan muda lagi, Amir yang kini berusia 75 tahun masih semangat merawat ingatan kolektif publik Lampung terhadap peristiwa tersebut.
Dikemas dalam diskusi publik dan memorabilia peringatan 31 tahun peristiwa Talangsari di Doesoen coffee, Jalan Pagar Alam No.133 Segalamider, Kecamatan Tanjungkarang Barat, Bandarlampung, Amir menuturkan sempat ditahan selama 16 bulan.
Bisa dibayangkan bagaimana nasib anak istriku saat itu,” tuturnya, Jumat (7/2), dikutip Kantor Berita RMOLLampung. Tahun 1990, ia dibebaskan tanpa surat bebas.
“Setelah saya bebas, saya dipanggil ke provinsi dan diskorsing pemotongan gaji 50 persen, sampai saya pensiun tahun 2005,” jelasnya. Tak hanya Amir, Suroto juga merasakan hal yang sama. Malam Senin, 6 Februari 1989, 5 temannya (orang pondok) ditangkap oleh Dahlan dan Raman. Senin siang, Kapten Soetiman menyerang Talangsari.
“Ia meluncurkan tembakan dar-dar-dar,” katanya sambil menirukan menembak. Akhirnya Kapten Soetiman dikeroyok dan dibacok warga. Senin malamnya Talangsari langsung dikepung oleh tentara.
“Saat itu usia saya masih 13 tahun, saya ditangkap oleh mereka dan dianiaya. Tapi Alhamdulilah saya tidak dibawa ke Kodim,” jelasnya. Saat ini, Amir, Suroto dan korban lainnya tergabung dalam Peguyuban Keluarga Korban Talangsari Lampung (PK2TL).
Mereka menuntut untuk mengusut tuntas tragedi Talangsari. “Walaupun sudah diiming-imingi dengan uang kompensasi sebesar Rp 5 juta kemarin, itu memang kewajiban mereka, tapi tetap kami mengharapkan harus diusut secara tuntas,” ujar Amir.
Kasus Talangsari mengacu pada hasil penyelidikan projustitia Komnas HAM yang rampung pada tahun 2008 merupakan sebuah kejadian yang diduga merupakan pelanggaran HAM berat.
Namun, semenjak 2008 hingga kini, hasil penyelidikan Komnas HAM tersebut tidak pernah beranjak ke tahap penyelidikan. Alih-alih mendorong proses peyelesaian dan pemulihan bagi korban, Kementerian Politik Hukum dan HAM mengadakan pertemuan bersama wakil bupati Lampung Timur, Ketua DPRD Lampung Timur, Forkompimda Lampung Timur, tokoh masyarakat dan warga untuk melaksanakan “Deklarasi Damai” melalui Surat Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Lampung Timur No.170/32/XII/SK/DPRD-LTM/2000 tertanggal 20 Februari 2019. “Kami selaku korban itu sama sekali sangat tidak setuju, yang menyatakan dia korban itu sebetulnya bukan korban.
Itu yang jelas rekayasa dari pihak mereka,” jelas Amir. Saat ini mereka mengaku mendapat diskriminasi terhadap pelayanan pemerintah, seperti tidak mendapat BPJS. “Kita sendiri BPJS tidak dapat. Sedangkan listrik, tiang saja tidak dikasih. Sumur bor tidak dikasih.
Saya berharap Talangsari baik Sidorejo maupun Banjar Agung mendapat pelayanan dari pemerintah seperti kuliah gratis atau sebagainya,” ujar Suroto. Sedangkan Amir mengaku keluarganya disusahkan dalam pembuatan KTP. “Sudah 3 kali foto anak dan istri saya, tapi tidak jadi-jadi KTP-nya,” ujarnya.(rmol)