GELORA.CO - Presiden Joko Widodo dikenal sebagai tipikal orang yang mengedepankan target. Namun dari perjalanan pemerintahannya, ada target yang belum terpenuhi, yaitu membuat ekonomi melesat tinggi.
Jokowi pernah mematok pertumbuhan ekonomi 7 persen. Namun selama 5 tahun periode pertamanya, target tersebut tidak tercapai.
Pada 2016, Jokowi memasukkan Sri Mulyani di kabinet sebagai Menteri Keuangan dengan harapan bisa mewujudkan target yang diinginkkanya. Namun, faktanya dari 2016 hingga 2019, tidak ada perubahan sama sekali.
Alumnus ekonomi Islam dari UIN Syarief Hidayatullah Jakarta, Sya'roni mengatakan, sejatinya Jokowi masih ingin memberi kesempatan kepada Sri Mulyani pada periode kedua. Namun Jokowi tampaknya kembali kecewa.
"Pada kuartal IV-2019, ekonomi makin nyungsep hanya tumbuh 4,97 persen. Defisit APBN makin melebar mencapai Rp. 353 triliun. Penerimaan pajak bolong Rp. 245,5 triliun," ujar Sya'roni kepada redaksi, Sabtu (22/2).
Kondisi diperparah saat memasuki Januari 2020. Awal tahun yang semestinya dimulai dengan optimisme, nyatanya dimulai dengan penciptaan utang baru sebesar Rp. 90 triliun dari lelang SUN.
Dan dilaporkan selama Januari 2020 terjadi defisit anggaran mencapai Rp. 36,1 triliun.
"Defisit semakin parah. Tapi solusi brilian belum hadir juga. Publik makin kecewa saat Menkeu mengutarakan rencana mengenakan cukai untuk plastik kresek, emisi motor, dan minuman pemanis," terang Sya'roni.
Ketiga produk tersebut identik yang dikonsumsi rakyat kecil. Pengenaan cukai akan membebani rakyat kecil. Bukan tidak mungkin kebijakan ini akan menjauhkan Jokowi dari rakyat kecil.
"Maka, bila terjadi reshuffle, kemungkinan salah satu pos kementerian yang diganti adalah Kementerian Keuangan," demikian Sya'roni. (dt)