GELORA.CO - Presiden Filipina Rodrigo Duterte membatalkan Kesepakatan Kunjungan Pasukan (VFA) dengan Amerika Serikat (AS) yang telah berlangsung selama dua dekade. Itu menjadi langkah yang mengancam kepentingan AS di Filipina.
“Duterte telah memutuskan menarik pakta rotasi pasukan yang telah berlangsung selama dua dekade agar Filipina lebih independen dalam hubungannya dengan negara lain,” kata juru bicara Kepresidenan Filipina, Salvador Panelo, dilansir Reuters. “Presiden tidak akan menghibur segala bentuk inisiatif dari pemerintah AS untuk menyelamatkan perjanjian atau dia akan menerima kunjungan resmi ke AS,” kata Panelo.
Keputusan itu dipicu penolakan visa AS kepada mantan kepala polisi yang memimpin perang melawan narkoba selama kepemimpinan Duterte. Nantinya, Duterte juga akan membatasi akses pelatihan AS terhadap tentara Filipina dalam memerangi ekstremisme, bencana alam, dan ancaman keamanan maritim.
Panelo mengungkapkan, keputusan Duterte tersebut merupakan konsekuensi tindakan eksekutif dan legislatif AS yang kerap mengabaikan kedaulatan dan tidak menghargai sistem pengadilan Filipina.
Kedutaan Besar AS di Manila menyebut keputusan Duterte sebagai langkah serius yang akan berdampak sangat signifikan. “Kita akan berhati-hati menganggap bahwa langkah terbaik demi kemajuan dan kepentingan bersama,” demikian keterangan mereka. VFA merupakan kesepakatan yang dibuat pada 1998 antara Manila dan Washington mengenai protokol personel militer AS di negara tersebut.
Pakta pertahanan itu mengatur aturan bahwa tentara AS harus menggelar operasi di Filipina. Dengan kesepakatan itu, hubungan antara kedua negara sebenarnya sangat kuat. Meskipun, Duterte menganggap Filipina kerap diperlakukan tidak adil dan memiliki persenjataan kuno.
Duterte mengklaim, AS menggunakan pakta tersebut untuk melaksanakan aktivitas klandestin, seperti spionase dan menimbun senjata nuklir. Dia mengungkapkan, Filipina menjadi target serangan China karena kehadiran AS di negaranya.
Beberapa senator Filipina berusaha menghalangi langkah Duterte tersebut. Mereka mengklaim, tanpa persetujuan Senat, Duterte tidak memiliki hak membatalkan pakta internasional yang sudah diratifikasi. “Kita harus mengatakan sesuatu untuk masalah yang penting ini,” ujar Senator Richard Gordon.
Beberapa anggota parlemen memberikan perhatian penuh jika Filipina tanpa VFA. Selain VFA, ada perjanjian lain seperti Kesepakatan Kerja Sama Pertahanan yang Diperkuat 2014 dan Pakta Pertahanan 1951. Keduanya juga meliputi kerja sama pelatihan tahunan dan akses lebih luas bagi Angkatan Udara, Angkatan Laut, dan Angkatan Darat AS terhadap teritorial Filipina. Kedua negara tersebut juga akan saling membela jika ada agresi eksternal.
Para pendukung kesepakatan dengan AS menganggap militerisasi Laut China Selatan oleh China dan bantuan USD1,8 miliar dari AS mampu memperkuat kemampuan militer Filipina. Namun, kaum nasionalis Filipina mengklaim AS tidak melakukan langkah apapun untuk menghentikan pembangunan kepulauan China di Laut China Selatan yang dilengkapi misil. Mereka juga mengklaim VFA dijadikan alasan bagi warga AS untuk mendapatkan imunitas jika melakukan pelanggaran.
Asisten Menteri Luar Negeri AS R Clarke Cooper mengungkapkan, penghentian pakta itu akan membatalkan 300 kerjasama militer, termasuk latihan tempur.
“Semua kesepakatan, semua operasi kemerdekaan navigasi, semua latihan perang, dan kehadiran personel AS di bandara, daratan, penerbangan, membutuhkan mekanisme VFA,” kata dia. Itulah kenapa, kata dia, VFA sangat penting bagi AS dan Filipina.
Duterte yang memiliki kedekatan dengan China dan Rusia memang mendorong pemblokiran VFA. Dia pernah mengancam akan mencabut VFA pada akhir 2016 ketika lembaga bantuan kemanusiaan AS menunda bantuan proyek antikemiskinan di Filipina. Dia juga melarang para senator AS masuk ke Filipina. (*)