GELORA.CO - Setelah hampir empat bulan sejak Nancy Pelosi dan Adam Schiff deklarasi memulai proses impeachment di kongres, kini impeachment gagal. Dua minggu proses persidangan impeachment di Senat telah berakhir dengan kemenangan telak Donald Trump dan Republik.
"Senat membebaskan tuduhan bahwa Trump melakukan penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) dengan suara 52 (tidak bersalah) vs 48 (bersalah) dan penghalang keadilan (obstruction of justice) dengan suara 53 (tidak bersalah) vs 47 (bersalah)," Pengamat Kebijakan Publik Hidayat Matnoer melalui akun twitternya.
Menurutnya hasil tersebut tidak mengejutkan. Karena Republik yang menguasai Senat dan sejak awal Republik menolak semua tuduhan Demokrat kepada Presiden Trump sejak awal di Kongres. Hal itu tergambar dari aksi Senator Republik Ted Cruz yang dengan bangga menyatakan `saya atas nama 28 juta warga texas dan seluruh Amerika, berani memilih membela konstitusi, dan menolak tuduhan demokrat`.
"Yang mengejutkan adalah posisi Senator Mitt Romney. Mitt Romney merupakan senator republik satu-satunya yang membelot membela Demokrat dan melawan Trump," katanya.
Dia menambahkan Ketua Kongres AS, Nancy Peloci mengajukan impeachment dengan mulus di Kongres karena demokrat merupakan mayoritas di kongres. Namun dalam aturan konstitusi Amerika, untuk meng-impeach seorang presiden diperlukan suara 2/3 dari Senat Amerika.
"Dari tiga usaha impeachment, tidak ada satu pun Presiden AS yang berhasil dicopot jabatannya. Andrew Johnson, Bill Clinton dan Donald Trump, ketiganya di impeach oleh kongres dan diselamatkan oleh Senat. Kecuali Nixon yang kemudian mengundurkan diri sebelum pengadilan impeachment di Senat di mulai," jelasnya.
Proses pemakzulan Trump tersebut menyebabkan opini publik Amerika terbelah dua. Para pendukung konservatisme, kaum supremasi white bersama tradisionalis berada satu kubu dengan Republik
Para pendukung liberalisme, kaum muda progresif bersama minoritas kulit hitam dan latin berada satu tempat besama Demokrat.
Situasi tersebut mirip di Indonesia saat pilpres 2019 kemarin antara pertarungan cebong dan kampret. Meski akhirnya pilpres 2019 diakhiri dengan happy ending dimana Prabowo menjadi Menhan dari Presiden Jokowi.
Tidak seperti di Indonesia, di Amerika pembelahan tersebut kelihatannya tidak berakhir setelah sidang senat AS kemarin. Nancy Pelosi terlihat merobek teks pidato Trump sesaat setelah pidato kenegaraan Trump dalam state of union tahunan kemarin sebagai respon dari penolakan jabat tangannya Nancy Pelosi oleh Trump.
Meskipun Trump menang di senat, Demokrat tetap mengajak pendukungnya untuk menumbangkan Trump di pemilihan presiden yang akan datang. Kaukus demokrat di Iowa berisi kritikan pedas dari seluruh kandidat presiden.
Konvensi Kaukus Demokrat di IOWA tersebut menunjukan tren menarik, Mantan Wakil Presiden Barack Obama yaitu Joe Biden ternyata tidak mendapatkan tempat yang baik di hati pendukung demokrat, sebaliknya Sanders (74) dan Pete Buttigieg (34) mendapatkan tempat dikalangan demokrat terutama kaum muda dan progresif.
"Kaukus Iowa diejek oleh Republik karena kaukus lamban memberikan hasil pemenangnya."
Proses demokrasi Amerika tersebut perlu diambil pelajaran yang baiknya dan sesuatu yang buruknya perlu ditinggalkan.
Pelajaran yang baik adalah seberapapun runcingnya perbedaan, di AS tidak tercatat korban jiwa seperti halnya yang terjadi saat sidang Bawaslu dimana kekerasan aparat dan massa tidak dapat dihindari.
Tingkat kematangan demokrasi akan melahirkan prinsip bahwa setiap perbedaan termasuk perbedaan pandangan politik tidak perlu berakhir dengan kekerasan dan penangkapan.
Pelajaran demokrasi AS yang buruk yang tidak perlu ditiru Indonesia adalah penggunaan isu rasis dan hoax sebagai senjata untuk menjatuhkan lawan politik.
Politik menghalalkan segala cara pada akhirnya akan merenggangkan modal sosial masyarakat dan akhirnya dapat meruntuhkan soliditas bangsa.
"Semoga kita dapat menjaga soliditas bangsa kita," tandasnya.[ljc]