Penulis: Farid Gaban
Kerajaan Saudi Arabia mencurigai Indonesia salah satu negara sumber penularan virus corona (Covid-19). Atas dasar itu, Saudi menghentikan sementara perjalanan umrah dari Indonesia.
Indonesia memprotes keputusan itu. Pemerintah kita berkali-kali mengatakan, tidak menemukan satupun orang yang terdeteksi terjangkit virus itu di Indonesia.
Pekan ini bahkan Pemerintah mengatakan siap mengeluarkan Rp 70 miliar untuk mempromosikan betapa Indonesia aman sebagai tujuan wisata dan investasi.
Tapi, mengapa Kerajaan Saudi tak percaya?
Saudi tak sendirian. Sejumlah diplomat Barat, termasuk Amerika dan Australia, menyatakan keraguan penanganan virus corona oleh Indonesia. Dalam pertemuan tertutup dengan Menteri Terawan, mereka mendesak Indonesia “untuk secara aktif melakukan deteksi kasus.”
Kecurigaan itu diperkuat oleh pernyataan profesor epidemiologi Marc Lipsitch dari Harvard University, yang mengatakan: secara statistik, tidak mungkin nol kasus virus corona di Indonesia.
Salah satu argumen Lipstich, Indonesia memiliki hubungan dagang dan investasi (bahkan pertukaran tenaga kerja) yang erat dengan Tiongkok.
Indonesia juga bertetangga dengan Singapura, negeri tropis yang kini memiliki jumlah pasien corona terbanyak di Asean.
Tapi, keraguan terkuat pemerintahan asing didukung oleh fakta bahwa ada satu pasien Jepang yang terdeteksi positif corona sepulang dari Indonesia.
Artinya, virus itu jelas ada di Indonesia. Bahwa Pemerintah Indonesia tak menemukannya: soal terletak pada lemahnya metode deteksi dan pengujian.
Itu bisa berbahaya karena memberi rasa aman yang semu.
Bahkan setelah negara lain menutup diri, Indonesia sangat santai dalam menangangi wabah ini. Pengawasan lalu-lintas penumpang di bandara dan pelabuhan Indonesia cenderung sangat longgar (antara lain karena tak ingin menakuti wisatawan yang masuk).
Proses screening sangat minimal. Belum lagi penanganan di rumah sakit untuk mereka yang terduga terjangkit. Beberapa pasien mengeluh tidak diuji secara komprehensif.
Kita memang tidak perlu takut berlebihan dan panik. Tapi, sikap denial (menolak mengakui adanya corona) oleh Pemerintah Indonesia terutama lebih didasari pertimbangan ekonomi, yakni turunnya investasi dan kunjungan wisatawan.
Itu agak mengerikan dan berbahaya: pemerintah menempatkan prioritas keselamatan warga negara di bawah urusan investasi dan pariwisata.
Untung jarang ada rakyat Indonesia yang protes tentang ini. Yang kini sangat khawatir justru orang asing.
Bukan karena mereka peduli banget dengan nasib orang Indonesia, tapi karena jika negeri berpenduduk 270 juta jiwa ini kena, wabah global akan makin sulit dikendalikan.
Jika jumlah orang terjangkit cukup banyak, Pemerintah Indonesia tidak akan sehebat Tiongkok dalam menanganinya. Standar layanan kesehatan Indonesia termasuk paling buruk di Asean.
Direktur WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus mengingatkan pekan ini: tak boleh ada satupun negeri yang berasumsi bebas virus corona. Asumsi seperti itu bisa sangat fatal akibatnya.
———–
Link Berita:
Kedutaan besar negara Barat cemas dengan penanganan virus corona di Indonesia
https://nasional.kontan.co.id/news/kedutaan-besar-negara-barat-cemas-dengan-penanganan-virus-corona-di-indonesia?fbclid=IwAR3-IyJIzU1T6R1TkyLpej-1SXtQdlC3PJr9qozRs5j42yMuSjmD4e6Dc6w
Kedutaan Besar AS Khawatir terhadap Penanganan Virus Corona di Indonesia
https://www.kompas.com/tren/read/2020/02/27/140600765/kedutaan-besar-as-khawatir-terhadap-penanganan-virus-corona-di-indonesia?page=all#page3
WHO warns against ‘fatal’ complacency in global coronavirus fight
https://www.straitstimes.com/world/europe/fatal-mistake-for-countries-to-assume-they-wont-get-coronavirus-says-who-chief?fbclid=IwAR0fORxKeAGpXSC9HXFfxOq2nQRIp1PuB2Bo3FAzUED2pRusVuq4YOxqP8Q