GELORA.CO - Pengusaha yang juga mantan Menteri Koordinator Perekonomian Chairul Tanjung berpendapat, ada lima musuh bersama umat Islam. Pertama adalah kebodohan.
“Masih hanyak umat kita bodoh, akibatnya kalah bersaing. Kunci pertama jika umat Islam ingin menguasai ekonomi, maka harus memerangi kebodohan,” kata Chiarul saat Kongres Umat Islam Indonesia (KUII) VII di Pangkal Pinang, Bangka Belitung, Jumat (28/2).
Kedua adalah kemiskinan. Ketiga adalah kesenjangan atau ketertinggalan. Keempat, ketidakpedulian dari umat yang berkuasa. Kelima, kemalasan. “Itulah yang harus diperangi agar tidak menjadi buih di lautan, tetapi penguasa lautan,” ujarnya.
Bagaimana bisa membalik keadaan itu? Menurut CT, umat Islam harus memulai dari aset terbesar yang dimiliki, yaitu jumlah yang besar. Jumlah Muslim Indonesia 230 juta, namun masih terkotak-kotak.
“Kalau kita tetap terfragmentasi, maka kita tidak akan bisa memperbaiki umat kita. Tidak ada kata lain kecuali kita bersatu. Tanpa bersatu, jangan harap kita besar,” ujar CEO CT Corp ini.
Umat Islam, jelas dia, harus membangun usaha dari kita, oleh kita, dan untuk kita. Salah satu cara yang harus dilakukan adalah memperbanyak pengusaha muslim di Indonesia.
Saat ini, fasilitas teknologi informasi dapat membantu anak-anak muda muslim untuk menggeluti dunia enterpreneurship. “Kita ditolong teknologi sehingga hambatan menjadi lebih mudah. Anak-anak muda bisa berdagang dengan medsos tanpa harus punya toko,” katanya.
Dia menjelaskan, entrepreneur adalah orang yang bisa membaca peluang dan kemudian menangkapnya. Sementara kalau hanya bisa membaca peluang saja maka namanya konsultan.
“Orang Indonesia ahli melihat tetapi tidak ahli menangkap,” tuturnya.
Prinsip entrepenurship adalah membeli masa depan dengan harga sekarang, bukan membeli masa lalu dengan harga sekarang. Orientasi entrepeneur adalah hasil akhir, bukan prosesnya.
Ditambahkan CT, pengusaha juga harus disiplin, detail, dan perfeksionis atau menuntut kesempurnaan dalam menjalankan usahanya.
“Entrepeneurship menciptakan nilai tambah, tidak memburu rente. Contoh, kopi saset di warung harganya 1.000 rupiah. Ketika dia masuk ke warung kopi menjadi 5.000 rupiah. Ketika menjadi kopi gaul menjadi 20.000 rupiah, dan ketika masuk coffe bean menjadi 50.000 rupiah,” katanya.
Menurutnya, ulama harus memfasilitasi dan memberikan pendampingan. “Jangan biarkan umat kita kalah dan tersia-sia. Kalau umat kita kalah-menang jumlah tapi kalah ekonomi, maka yang salah adalah ulamanya,” kata dia.
Pada sisi lain, pemerintah atau yang harus berani melakukan affirmative action (langkah khusus, red) untuk membantu para enterpreneur baru. Kebijakan ini bukan berarti memusuhi pengusaha yang sudah sukses dalam berbisnis. “Yang sudah maju, silahkan maju, namun yang kita dorong adalah bagaimana mendorong umat yang sedang di bawah ini untuk maju,” ujarnya. (ns)