GELORA.CO - Label negara berkembang Indonesia yang dicabut oleh Kamar Dagang Amerika Serikat atau United States Trade Representative (USTR) masih diperdebatkan oleh civil society, salah satunya oleh Institute for Development of Economics and Finance (INDEF).
Lembaga kajian ekonomi ini menyayangkan sikap pemerintah yang membiarkan hal itu terjadi. Padahal, dicabutnya label negara berkembang memiliki dampak perekonomian yang cukup besar.
Sebab, pencabutan ini menyulap Indonesia secara seketika menjadi negara maju, jika mengacu kepada skema Countervailing Duty (CVD) yang dipakai USTR. Di mana pada akhirnya, sejumlah insentif yang didapat negara berkembang akan dihapuskan.
"Pemerintah jangan bangga dulu, karena selama ini kalau dilihat dari indikatornya tadi, kita sebenarnya belum bisa masuk kesana (negara maju)," ujar Peneliti Senior INDEF Aviliani dalam sebuah diskusi bertajuk 'Salah Kaprah Status Negara Maju' di ITS Office Tower, Jalan Raya Pasar Minggu, Jakarta Selatan, Kamis (27/2).
"Dan dampaknya pada penghapusan tadi (insentif yang didapat Indonesia sebagai negara berkembang), sudah siapkah kita?," sambungnya.
Sebelum memaparkan dampaknya, Aviliani menyebutkan sejumlah indikator ekonomi yang menunjukan Indonesia belum bisa dikatakan sebagai negara maju.
Diantaranya angka kemiskinan yang masih cukup tinggi, yakni 24,79 juta jiwa per September 2019 (menurut data BPS). Selain itu, angka pengangguran yang masih mencapai 7 juta jiwa juga masuk ke dalam satu indikator ini.
Belum lagi melihat nilai Pendapatan Nasional Per Kapita (Gross National Income/GNI) Indonesia per 2018 yang batu mencapai 3.840 dolar Amerika Serikat, alias jauh lebih rendah dari minimum GNI negara maju sebesar 12.235 dolar Amerika Serikat (per 2016).
Sementara, untuk dampak yang akan dirasakan RI ialah terkait turunya nilai ekspor Indonesia disejumlah negara mitra dagangnya.
Misalnya dengan Amerika Serikat, yang pada 2019 lalu sebesar 17,7 miliar dolar Amerika Serikat, atau setara dengan 11 persen total ekspor Indonesia. Akibatnya, neraca dagang Indonesia saat itu tercatat surplus hingga 8,4 miliar dolar Amerika Serikat.
"Asumsinya adalah, kalau kita diam saja, tidak protes terhadap ini, maka 11 persen itu bisa kejadian (turun)," ungkap Aviliani.[rmol]