GELORA.CO - Warga Desa Pulau Tambako Kecamatan Mataoleo Kabupaten Bombana dipaksa menjual lahannya ke Pengusaha asal Cina dengan harga murah, Rp 7 ribu permeter.
Hal ini diungkapkan kuasa hukum warga La Ode Abdul Faris, Kamis 9 Januari 2020 ditemui di Kendari.
Faris tak sendiri. Ia ditemani oleh beberapa warga yang menolak lahannya dihargai Rp 7 ribu permeter..
Faris menjelaskan, perusahaan Cina dimaksud adalah PT BISHI Industri Group (BIG) yang bergerak di industri baja.
Sekitar 8 Agustus 2019, perusahaan asal Tiongkok ini melakukan memorandum of understanding (MoU) dengan Pemkab Bombana untuk memuluskan investasinya dengan membutuhkan sekitar 1000 hektare lahan yang meliputi dua desa di Kecamatan Mataoleo yakni, Desa Pulau Tambako dan Desa Tanjucu.
Setelah MoU, belakangan perusahaan mendatangi warga agar mau melepas lahannya dengan harga Rp 7 ribu permeter. Harga yang sangat rendah itu, tentunya ditolak karena tidak sebanding dengan penghasilan yang diperoleh dari lahan mereka selama ini.
“Pihak perusahaan telah mematok harga Rp 7 ribu permeter. Harga ini tiba-tiba muncul tanpa ada kesepakatan dengan warga. Warga tidak pernah diajak duduk bersama,” kata Faris.
Setidaknya, ada 43 warga yang menolak dan tetap mempertahankan lahannya untuk tidak dikuasai. Alasannya, bukan soal nilai pembebasan yang rendah melainkan di tanah seluas 100 hektare itu menjadi sumber penghidupan mereka selama ini.
“Kalau dijual, bagaimana anak cucu kami ke depan. Mau hidup bagaimana. Sementara berkat lahan ini, anak-anak kami bisa sekolah,” ungkap Darwia (45).
Ia mengaku, lahan di desa itu telah dikelola secara turun temurun sejak 1982. Warga juga setiap tahun aktif membayar pajak tanah tersebut.
Tapi belakangan, perusahaan yang didukung oleh pemerintah datang meminta agar warga melepas tanahnya dengan harga muruh.
Faris bersama warga memperlihatkan sejumlah dokumen surat pernyataan pengalihan penguasaan atas sebidang tanah dari antara perusahaan dan warga.
Dalam surat itu, PT BISHI Industry Group diwakili oleh Mr Wu Lei sebagai President Director perusahaan sebagai pihak pertama dan warga sebagai pihak kedua.
Bagi Faris, ada yang janggal dalam surat tersebut. Sebab, lahan akan diberikan ke warga Cina yang notabene tidak punya hak menguasai lahan di Indonesia.
“Kita bicara bukan hanya keselamatan warga, tapi kedaulatan negara. Bahwa jual beli yang dicoba dilegalkan, bertentangan UUD, terjadi jual beli antara warga Negara Indonesia dan warga negara asing sebagai pihak kedua,” bebernya.
Selain menghadapi perusahaan, lanjut Dawia, ia juga sering berdebat dengan pemerintah desa dan aparat kepolisian yang cenderung membackup perusahaan tersebut.
“Saya pernah didatangi polisi. Dia sebut saya anjing, binatang dan mengancam akan memenjarakan saya. Ada videonya jelas itu,” kata Dawia.
Selain itu, warga juga sudah mulai dibatasi untuk mengurus surat keterangan tanah (SKT) untuk melegalisasi tanah tersebut.
Kepala Desa Pulau Tambako mau membuat SKT 43 warga jika menerima pembebasan lahan Rp 7 ribu permeter.
“Bagaimana mungkin kita mau terima, lahan tersebut sangat produktif. Di situ ada tanaman jangka panjang, jambu mete, kelapa dan jati. Untuk harga Rp 7 ribu itu lebih mahal bayar pemanjat pohon kelapa Rp 10 ribu,” beber Darwia.
Saat ini, kata dia, di internal warga telah terjadi pro kontra dengan kehadiran perusahaan tersebut. Beberapa warga yang menerima, memaksa warga yang menolak untuk tunduk pada aturan pemerintah daerah.
“Warga ini sudah dipekerjakan di perusahaan itu. Bahkan bersama perusahaan datang dan mengancam akan mengusur lahan warga secara cuma-cuma tanpa adanya ganti rugi,” jelasnya.
Bahkan, lanjut dia, konflik warga sudah cukup ekstrem. Salah satu nenek-nenek yang menolak melepas lahannya dipukul oleh oknum kepala kampung di desa itu.
“Korban bernama Naria (60) dipukul dalam rumahnya saat suaminya keluar. Korban sudah melapor ke Polres Bombana namun tidak diberikan bukti laporannya,” jelas Faris.
Tanaman Warga Dirusak
Di saat warga masih mempertahankan lahannya untuk tidak dijual murah, beberapa pekerja perusahaan datang merusak tanaman warga pada Selasa, 7 Januari 2020.
Rasna (46) mengaku, dua pohon jambu mete, tiga pohon kelapa dan satu pohon mangga ditebang oleh pelaku.
Selain itu, Hasnia (49), tanamannya juga dirusak pada hari yang sama. Yakni, dua pohon kelapa dan beberapa pohon jambu mete.
“Beruntung kami turun langsung melarang penebangan itu,” kata Rasna diamini Hasnia.
Ia mengaku, sejumlah pohon yang telah dirubuhkan itu menjadi sumber penghidupan mereka selama ini, selain pergi melaut.
Atas peristiwa itu, mereka melaporkan perusahaan tersebut ke Mapolda Sultra pada Kamis 9 Januari 2020 atas dugaan pengrusakan tanaman.
“Semoga polisi menindaklanjuti laporan warga ini. Ini merupakan pidana murni dan harus diproses oleh polisi,” tutur Faris.
Jauh sebelumnya, lanjut Faris, enam orang warga telah dilaporkan ke polisi atas dugaan penipuan atas kesepakatan soal tunjangan hari raya (THR). Keenam warga itu adalah Rasna, Hasta, Habibah, Samsir N, Wa Una dan Siti Nur Faidah.
“Warga juga dilaporkan ke Polres Bombana oleh perusahaan dengan nota kesepakatan. Perusahaan mengaku merasa ditipu bahwa sudah memberi Rp 5 juta bentuknya THR atau bonus,” tuturnya.
Menurut Faris, kesepakatan itu tidak menyangkut soal tanah dan warga tidak pernah memenuhi panggilan tersebut.
Hingga saat ini, belum ada keterangan dari Kepala Desa Pulau Tambako, Baco. Beberapa kali dihubungi nomor teleponnya, Baco tidak aktif.
Sementara itu, Kapolres Bombana AKBP Andi Herman membantah adanya intimiasi warga.
“Tidak benar itu pak, tidak pernah ada intimidasi dari aparat terkait pembebasan lahan,” imbuhnya melalui pesan Whatsapp, Jumat (19/1/2020).
Direktur Operasional PT BISHI Industry Group Abbas menyebut, pihaknya tidak pernah memaksa warga untuk melepas tanahnya.
“Kami juga tidak melakukan pengrusakan tanaman. Yang menebang tanamannya itu adalah warga sendiri,” kata Abbas saat dihubungi.
Ia menyebut, pihaknya memebebaskan lahan yang memilki berkas yang jelas dan diketahui oleh pemerintah desa setempat.
“Sudah lakukan proses pembebasan lahan dan sudah klir. Sudah tidak ada masalah. Kita itu berbasis berkas. Kalau tidak lengkap berkasnya, kita tidak bayarkan,” jelasnya.
Mengenai 43 warga yang menolak lahannya dibebaskan dengan harga Rp 7 ribu permeter, Abbas mengaku tidak tahu.
“Saya nggak tahu itu, karena tidak pernah disampaikan ke kita. Yang ada justru beberapa warga sudah melaukan transaksi awal lewat kita, baik pemberian bonus sebagai ikatan harga. Ada yang setuju dan belum mengambil, dan ada beberapa diwakili oleh keluarganya. Intinya, kita membeli barang yang klir. Tidak ada pemaksaan, kita juga harus pastikan legalitas tanahnya,” tuturnya. (*)