GELORA.CO - Ketua KPU RI Arief Budiman menyatakan akan mengambil
sejumlah langkah terkait penangkapan dan penetapan tersangka atas
komisioner KPU Wahyu Setiawan.
Wahyu Setiawan ditetapkan tersangka dalam kasus suap pergantian antar waktu polisi PDIP di DPR RI.
Langkah
pertama yang akan dilakukannya adalah memberitahukan kasus ini kepada
Presiden Jokowi dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) serta
DPR.
Pasalnya, Presiden adalah yang melantik Wahyu Setiawan sedangkan DPR yang melakukan seleksi.
”Kita
akan memberitahukan ke pihak-pihak terkait ya,” ujar Arief di Gedung
KPK, Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Kamis (9/1) malam.
Selain itu, pemberitahuan juga disampaikan kepada KPU provinsi, kabupaten/kota sebagai pelajaran penting dan agar mawas diri.
Terlebih, pada September 2020 mendatang, akan digelar Pilkada di 270 kabupaten/kota.
“Saya
ingin sampaikan kepada KPU provinsi, kabupaten/kota untuk lebih
meningkatkan kewaspadaan, mawas diri, dan jauh lebih menjaga
integritasnya,” imbaunya.
Atas kejadian ini, pihaknya juga mengaku sangat prihatin dan menyampaikan permohonan maaf kepada seluruh rakyat Indonesia.
“Kami menyampaikan permohonaan maaf yang sebesar-besarnya kepda seluruh masyarakat Indonesia,” ungkapnya.
Lebih lanjut, Arief juga memastikan bahwa pihaknya mendukung penuh langkah hukum yang dilakukan lembaga anatirasuah tersebut.
Karena itu, ia ingin KPU bisa tetap terjaga marwahnya sehingga bisa tetap dipercaya oleh masyarakat.
“Ini upaya untuk bersama-sama menjaga institusi ini, supaya tetap terjaga dengan baik,” tuturnya.
Atas perbuatannya, KPK menetapkan Wahyu dan Agustiani Tio sebagai tersangka penerima suap.
Keduanya
disangkakan melanggar Pasal 12 Ayat (1) huruf a atau Pasal 12 Ayat (1)
huruf b atau Pasal 11 Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana
telah diubah dengan Undang Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.
Sedangkan Harun dan Saeful ditetapkan sebagai tersangka pemberi suap.
Keduanya
disangkakan dengan Pasal 5 Ayat (1) huruf a atau Pasal 5 Ayat (1) huruf
b atau Pasal 13 Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.[psid]