GELORA.CO - Wahyu Setiawan menahan diri untuk membuka lebih lebih jelas perkara yang menjeratnya. Namun setidaknya ada ucapan Komisioner KPU yang berstatus tersangka KPK itu yang menjurus pada 'utusan' partai politik berlambang banteng moncong putih.
KPK menetapkan Wahyu sebagai tersangka penerima suap berkaitan dengan persoalan pergantian antar-waktu (PAW) anggota DPR dari PDIP. Bersama dengan Wahyu, ada nama Agustiani Tio Fridelina yang juga berstatus tersangka.
Wahyu dan Agustiani diduga KPK menerima suap dari Harun Masiku dan Saeful. Siapa Agustiani, Harun, dan Saeful?
Dalam konferensi pers KPK pada Kamis, 9 Januari 2020, Agustiani disebut sebagai mantan anggota Badan Pengawas Pemilu yang berperan sebagai orang kepercayaan Wahyu. Saeful hanya disebut sebagai swasta. Sedangkan Harun diketahui sebagai calon anggota legislatif (caleg) dari PDIP.
Duduk perkaranya bermula dari caleg PDIP terpilih Nazarudin Kiemas meninggal dunia. Lantas sebagai penggantinya PDIP ingin mengusung Harun, sedangkan menurut aturan seharuanya penggantinya adalah caleg dengan suara di bawah Nazarudin yaitu Riezky Aprilia.
Namun PDIP tetap berupaya mendorong Harun sebagai pengganti Nazarudin. Singkat cerita, terjadilah praktik suap-menyuap itu.
Saat dihadirkan sebagai teradu dalam sidang dugaan pelanggaran kode etik yang digelar Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) di KPK, Wahyu mengamini adanya upaya PDIP itu. Namun Wahyu menyatakan bila secara kelembagaan KPU menyatakan bila pengganti Nazarudin adalah Riezky.
"Kami dalam posisi melayani peserta pemilu dalam hal ini para parpol yang akan melakukan... sepanjang prosesnya sesuai dengan ketentuan yang berlaku pasti dilaksanakan," ucap Wahyu dalam persidangan yang disiarkan secara langsung oleh DKPP itu.
Namun Wahyu mengaku dalam posisi sulit. Apa sebabnya?
Wahyu mengaku berteman dengan Agustiani, Saeful, dan Doni. Nama Doni diketahui sebagai advokat dari PDIP, tetapi dalam perkara itu yang bersangkutan masih berstatus sebagai saksi.
"Saya dalam posisi yang sulit karena orang-orang ada Mbak Tio, Mas Saeful, Mas Doni. Itu kawan baik saya. Saya sudah menjelaskan dan saya tidak pernah aktif di organisasi itu," kata Wahyu.
Mbak Tio yang dimaksud Wahyu adalah Agustiani. Wahyu menyebut Agustiani sebagai 'utusan' PDIP untuk urusan PAW.
"Memang saya dalam berkomunikasi terkadang menjadi salah tafsir. Sebagai contoh, pada saat Ibu Tio utusan PDI Perjuangan yang memberi informasi kepada saya bahwa PDI Perjuangan akan bersurat kepada KPU, saya menjawab 'siap mainkan'. Maksud saya surat yang dikirim ke KPU kemudian ditindaklanjuti. Pada waktu itu saya tidak ada di kantor saya menghubungi staf saya. Saya mengabari ada surat dari PDIP tolong diterima setelah diterima apakah surat ini diteruskan kepada pimpinan ya karena itu surat resmi jadi sampai peristiwa itu saya hanya terima di WA, tetapi secara fisik saya tidak pernah memegang sekali lagi," sambung Wahyu.
Setelahnya Wahyu tak bercerita banyak. Dia mengaku sudah berkomitmen dengan penyidik KPK untuk tidak terlalu buka-bukaan lantaran akan berpengaruh pula pada proses hukumnya.
"Saya juga sudah berkomitmen jadi KPK memilah-milah tidak semua saya sampaikan di sini. Jadi mohon maaf tidak bermaksud tidak terbuka tetapi jelas terkait dengan dugaan ketidakprofesionalan tentu saya menyerahkan kepada majelis hakim," kata Wahyu.
"Oleh karena itu dalam hati yang paling dalam saya mohon maaf kepada penyelenggara pemilu, DKPP, Bawaslu, perlu ada pada terutama kepada ketua dan atas peristiwa tapi perlu diketahui bahwa yang terjadi adalah masalah saya pribadi dikatakan karena sikap kelembagaan sudah jelas bahwa kita tidak terima surat DPP PDIP karena tidak sesuai," kata Wahyu.
Atas pernyataan Wahyu, Plt Ketua DKPP Muhammad akan mencermatinya. Muhammad turut mempertanyakan pertemuan yang dilakukan Wahyu di luar tugas yang berpotensi menimbulkan konflik kepentingan.
"Majelis sempat menanyakan mengapa kemudian berusaha untuk mencegah pertemuan-pertemuan di luar kantor. Beliau jelaskan di posisi sulit karena alasan pertemanan. Tentu kita akan nilai dalam prespektif kode etik," kata Muhammad.
"Menurut versi teradu (Wahyu Setiawan) yang kita ikuti bersama, tapi semata-mata sulit menghindari pertemuan-pertemuan itu sehingga kemudian majelis mendalami dan sekali lagi menanyakan kenapa anda tidak berusaha menolak pertemuan-pertemuan yang bisa membuat konflik kepentingan itu. Itu yang menjadi paling banyak yang didalami terkait sebenarnya kode etik. Setiap penyelenggara Pemilu itu harus mampu menjaga potensi konflik kepentingan," imbuhnya.
Di sisi lain, PDIP menepis pernyataan Wahyu yang menyebut Agustiani sebagai utusan PDIP. Ketua DPP PDIP Komarudin Watubun mengaku akan menelusuri pernyataan Wahyu itu berdasar pada klaim orang per orang atau yang lainnya.
"Iya (PDIP membantah pernyataan Wahyu). Kan boleh saja orang sekarang-sekarang kan... Nanti ditelusuri, baru PDIP sebagai institusi atau orang per orang kan, kan begitu maksudnya. Atau supaya jangan... Karena kalau PDIP sebagai institusi saya pastikan itu harus lewat rapat pleno dan saya pasti hadir juga kan," kata Komarudin.
"Nah bagian ini (suap menyuap), sekali lagi saya tegaskan, ini bukanlah kebijakan partai. Oleh karena itu kami mendukung penuh KPK, 200 persen kita beri dukungan KPK untuk membongkar mafia-mafia jual beli kursi itu. Karena itu tindakan orang per orang. Bukan tindakan organisasi seperti itu," imbuh Komarudin.(dtk)