GELORA.CO - Problem banjir sudah ada sejak ratusan tahun lalu. Menurut World Health Organization (WHO), catatan paling awal banjir di Jakarta terjadi pada 1699, atau tepat 320 tahun yang lalu.
Penyebabnya adalah muntahan lava Gunung Salak yang menutup Sungai Ciliwung. Banjir saat itu menggenangi Kota Lama yang menjadi ibu kota kolonial Belanda di bawah pemerintahan VOC (Verenigde Oostindische Compagnie).
Banjir besar terjadi pada 1714 ketika Sungai Ciliwung meluap akibat pembukaan hutan-hutan di kawasan Puncak, Bogor. Sebanyak 100 budak dikerahkan untuk menggali dan membersihkan kali Ciliwung dari sampah perkebunan, seperti limbah tebu yang dibuang begitu saja di sungai.
Solusi itu tercatat dalam buku Nusantara: A History of the East Indian Archipelago (1943) yang ditulis BHM Vlekke.
Kemudian pemerintahan Hindia Belanda membangun Kanal Banjir Barat, sebagai solusi mengatas banjir, yang baru tuntas pada tahun 1942.
Namun, program pembangunan Banjir Kanal Timur (BKT) tidak pernah terwujud karena kendala dana, dan baru tuntas pada era Reformasi tepatnya tahun 2003.
Minimnya drainase di Jakarta, menjadi penyebab terjadinya banjir. Sementara 40 persen wilayah Jakarta berada di bawah permukaan laut.
Penurunan tanah memperburuk keadaan, sehingga sejak tahun 1996 muncul satu jenis banjir baru, yang tidak dipicu oleh limpahan air dari Bogor ke Sungai Ciliwung, atau curah hujan tinggi di Jakarta, melainkan pasang laut di Jakarta Utara. Pada 1996 ini, musibah banjir Jakarta telah menewaskan 7 orang.
Musibah banjir Jakarta pada 2002, adalah banjir terbesar dalam sejarah Jakarta. Menurut The Dartmouth Flood Observatory, sebanyak 25 orang tewas dalam musbah banjir ini.
Pada 2007, banjir terbesar dalam 3 abad terakhir di Jakarta telah menewaskan 69 orang.
Hingga kini, banjir selalu menjadi permasalahan yang tidak ada penyelesaiannya.(rmol)