GELORA.CO - Baru 2 pekan memasuki 2020, masyarakat kembali mendapat kejutan dari pemerintah. Melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), pemerintah berencana mencabut subsidi elpiji 3 kg pada pertengahan tahun ini.
Kebijakan ini tentu akan semakin menambah beban masyarakat. Karena pemerintah juga telah menaikkan iuran BPJS Kesehatan yang berlaku efektif per 1 Januari 2020 lalu.
Menanggapi hal ini, advokat juga akademisi Hukum dan FISIP Universitas Muhammadiyah Jakarta, Ahmad Yani, menilai kebijakan yang diambil pemerintah seolah sedang menjebak rakyat.
"Sebab dulu kan pakai minyak tanah, kita disuruh ganti bahan bakar yang murah dan ramah lingkungan yaitu gas. Sekarang minyak tanah nggak ada, gas juga mau dicabut (subsidi). Itu namanya menipu rakyat," katanya Kepada Kantor Berita Politik RMOL, Jumat (17/1).
Yani menjelaskan, janji kemerdekaan adalah untuk mensejahterakan rakyatnya. Oleh sebab itu, kalau belum mampu mensejahterakan rakyat, maka subsidi adalah cara terlemah yang bisa diambil pemerintah dalam rangka usaha mensejahterakan rakyat.
"Jadi jalannya tengahnya memang subsidi. Kenapa kita nggak mampu?" tanya Yani.
Untuk itu Yani menegaskan bahwa pemerintah harus berani mengambil sikap dengan menghapus kartel-kartel gas. Dugaan Yani, pencabutan subsidi elpiji 3 kg ini terjadi karena mereka terikat dengan harga pasar.
Adalah hal yang aneh jika gas dijual keluar negeri, sebut saja China, dengan harga yang murah namun harga gas di dalam negeri sangat mahal.
Publik pun berhak mengetahui perhitungan subsidi yang dimaksudkan. Yani meminta untuk segera dilakukan evaluasi real terkait Harga Pokok Produksi (HPP) supaya mendapat kepastian.
"Kita nggak tahu permainan sekarang. Jadi seolah hanya tahu ada subsidi sekian. Itu dari mana angkanya? Dari mana ceritanya? publik harus tahu juga," pungkasnya. [rmol]