GELORA.CO - Tertangkapnya Komisioner KPU Wahyu Setiawan oleh KPK pada Rabu lalu (8/1) yang menjanjikan PAW pada Harun Masiku salah satu politisi PDIP dengan cara suap sangat mencoreng lembaga penyelenggara pemilu.
"Untuk ukuran dia (WS) yang belasan tahun jadi organ penyelenggara pemilu saja rentan terkecoh dan terima suap. Akibatnya integritas dan independensi yang digemborkan jadi runtuh," kata Azmi Syahputra pakar hukum Pidana dari UBK itu kepada wartawan di Jakarta, Minggu (12/01/2020).
Lebih lanjut, Azmi menilai, pintu masuk kejadian tersebut adalah produk keputusan dalam KPU.
"Jika benar dan sudah final dirapat plenokan dan dinyatakan nama Riezky Aprilia sebagai pengganti Nazarudin karena meninggal dunia. Terus kenapa lagi komisioner masih "mau berani mengubah" hasil rapat pleno KPU dan "mau diakali" dan dijanjikan pada Harun Masiku, ini masalah utamanya artinya keputusan di KPU masih bisa ditawar atau berubah?" kata Ketua Asosiasi Ilmuwan Praktisi Hukum Indonesia (Alpha) itu.
Untuk diketahui, jelas Azmi, Keputusan KPU tidak bisa diputuskan sendiri, karena sifat dari keputusan tersebut mesti kolektif kolegial.
"Harus rapat dengan 5 komisioner dan minimial disetujui 4 komisioner. Karena sudah ada keputusan pleno, sifat keputusan itu sekali selesai apalagi yang ditujukan pada individual (otomatis PAW jatuh pada nama caleg suara terbanyak berikutnya), prosedur dan mekanismenya demikian, jadi final dan konkrit, tentunya karena sudah tahu demikian Wahyu Setiawan sebagai komisioner tidak bisa main sendiri?" sindirnya.
Patut diduga, kata dia, ada celah atau ruang untuk keikutsertaan komisioner lain atau ada tekanan yang luar biasa dari eksternal KPU.
"Karena dia tidak mungkin dapat merubah keputusan dalam pleno sendiri harus ada peran dan persetujuan komisioner yang lainnya, karena keputusan di KPU itu sifatnya kolektif kolegial apalagi sampai detik akhir satu hari sebelum OTT, Komisioner KPU tetap pada keputusan Plenonya bukan tunduk pada judicial review MA," tutupnya.(*)