Semrawut Asuransi Jiwasraya, Membuat Jiwa Tak Berdaya

Semrawut Asuransi Jiwasraya, Membuat Jiwa Tak Berdaya

Gelora Media
facebook twitter whatsapp

Oleh:Henyk Nur Widaryanti S
 JIWA merasa resah? Takut kehidupan masa depan tak indah? Lebih tenang rasanya jika telah ada jaminan? Maka, menjadi pilihan jika masyarakat bertumpu pada asuransi jiwa. Untuk menjamin kehidupan yang pasti di masa depan.

Namun, apalah daya impian hanya sekadar di angan. Masalah demi masalah datang bertubi. Uang pun kemungkinan kecil bisa di genggaman. Badan asuransi jiwa tertua di Indonesia saat ini sedang bermasalah. Bahkan sedang merugi triliun-an rupiah.

Disebutkan di laman detik.com Asuransi Jiwasraya tekor Rp 32 triliun. Defisit terbesar ke-2 setelah masalah Badan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Salah satu masalah yang membuat defisit ini karena adanya bisnis asuransi yang justru memberatkan tubuh Persero sendiri. Menurut Direktur Utama Jiwasraya (JS) Hexana Tri Sasongko, skema ponzi telah memaksa asuransi untuk memakai premi para anggota untuk membayar klaim jatuh tempo.


Dua bisnis yang menjatuhkan ini adalah penawaran fixed return, pada nasabah hingga 14 persen. Selain itu adalah produk JS Saving Plan dengan garansi imbal hasil lebih tinggi. Produk macam inilah yang memaksa perusahaan pelat merah untuk bermain di dunia saham. Sayangnya permainan sahamnya tidak memilih yang mudah dijual lagi (liquid aset). Padahal setiap hari ada saja produk yang jatuh tempo.

Alhasil banyak nasabah yang mulai tidak percaya pada JS. Sehingga mereka banyak yang menarik uangnya kembali. Padahal uang mereka masih ada di putaran saham. Inilah yang membuat JS kolaps.

Menurut Said Didu, Mantan Sekretaris Badan Usaha Milik Negara (BUMN) ini, dikutip oleh CNBC Indonesia (19/12/19) ada dugaan korupsi dalam masalah ini. Faktanya defisit yang dialami cukup besar. Tidak mungkin hanya karena bisnis semata. Sehingga butuh penyelesaian tuntas dari segala lini.

Kondisi ini bertambah buruk tatkala BUMN sering kali menjadi tumpuan sponsorship demi beragam proyek individu. Seperti JS yang mensponsori kedatangan team sepak boal Manchester City. Tentu saja kegiatan sponsorship ini akan menguras keuangan JS. Sudah keuangan bermasalah, ditambah menjadi sponsor. Alamat keuangan menjadi tekor.

Bukan yang pertama

Masalah kebangkrutan BUMN ini bukanlah kali pertama. Sebelum Jiwasraya ada beberapa BUMN yang telah kolaps lebih dahulu. Sebut saja perusahaan Krakatau Steel atau Pertamina yang juga sedang bermasalah. Semua bermasalah karena kesalahan pengelolaan dan paksaan keadaan. Ada pihak-pihak tertentu yang memanfaatkan kondisi BUMN tersebut.

Mau tidak mau cengkraman kapitalisme telah melumpuhkan kinerja perusahaan milik negara itu. Mulai dari BUMN yang berbentuk korporasi, adanya lingkaran kekuasaan yang memanfaatkan BUMN demi kepentingan individu, baik untuk memperkaya diri atau kebutuhan akan kursi politik hingga proses mencari untung dengan cara riba telah menjatuhkan BUMN diambang kebangkrutan.

Menyadarkan rakyat

BUMN harusnya bekerja untuk kesejahteraan rakyat. Memenuhi kebutuhan rakyat itu yang terpenting. Bukan sekadar mencari keuntungan. Inilah yang menyebabkan BUMN menjadi korporasi, beroperasi demi mencari untung. Tapi ujung-ujungnya malah buntung.

Adanya lingkaran kekuasaan, yang memanfaatkan BUMN menjadi sapi perah. Menambah daftar panjang negara korporatokrasi. Yaitu penguasa yang sekaligus pengusaha. Mereka memimpin hanya untuk mencari keuntungan. Bukan mensejahterakan rakyat.

Dari sinilah semestinya kita sadar bahwa sistem ekonomi kapitalisme telah gagal menjadi tumpuan hidup manusia. Masalah ekonomi muncul di mana-mana. Kehancuran badan usaha ala kapitalis telah merambah berbagai bidang. Maka, tak sepantasnya kita masih berharap pada sistem ini. Tidak ada kebaikan bahkan manfaat yang bisa kita petik.

Oleh karena itu sistem yang hanya dipertahankan oleh orang-orang yang rakus kekuasaan ini tidak akan bertahan lama. Apalagi jika didapat dari persekongkolan dengan para kapitalis. Yang hanya pemenuhan kepentingan saja. Tak akan mementingkan urusan rakyatnya. Masikah berharap dengan sistem seperti ini?

(Penulis adalah Pengajar di Universitas Soerjo Ngawi)
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita