GELORA.CO - Omnibus Law RUU Cipta Lapangan Kerja (RUU Cilaka) dinilai merupakan alat pemerintah untuk mendapatkan investasi asing melalui cara-cara kolonial. Oleh karena itu, organisasi rakyat dan lembaga masyarakat sipil yang tergabung dalam Fraksi Rakyat Indonesia (FRI) menolak Omnibus Law RUU Cilaka.
"Omnibus Law RUU Cilaka, aturan berwatak kolonoial. Melegitimasi investasi perusak lingkungan, mengabaikan investasi rakyat dan masyarakat adat yang lebih ramah lingkungan dan menyejahterakan," kata narahubung FRI, Arip Yogiawan dalam siaran pers yang diterima detikcom, Kamis (30/1/2020).
Sikap itu juga disampaikan pada konferensi pers di gedung YLBHI, Kamis (30/1). FRI menilai keseluruhan proses yang sangat tertutup, tidak demokratis, dan hanya melibatkan pengusaha. Selain itu, substansi RUU Cilaka Indonesia menyerupai watak pemerintah kolonial Hindia Belanda.
"Konsep sistem ketenagakerjaan dalam RUU Cilaka mirip kondisi perburuhan pada masa kolonial Hindia Belanda," cetus Arip.
Pada akhir abad ke-19, di bawah tekanan globalisasi dan perjanjian internasional, pemerintah kolonial Hindia Belanda menerbitkan aturan Koeli Ordonantie untuk menjamin pengusaha dapat mempekerjakan kuli perkebunan tembakau dengan upah sangat murah dan tanpa perlindungan. Para buruh juga diancam hukuman kerja paksa sementara pengusaha yang melanggar aturan hanya dikenakan sanksi denda ringan.
"RUU Cilaka juga mengembalikan politik pertanahan nasional ke zaman kolonial karena semangatnya sama dengan ketentuan dalam Agrarische Wet 1870," kata Arip.
Kedua aturan tersebut dinilai sama-sama berambisi untuk mempermudah pembukaan lahan sebanyak-banyaknya untuk investasi asing dengan merampas hak atas tanah dan ruang kelola masyarakat adat dan lokal. Arip menilai formalisme hukum yang kuat dalam RUU Cilaka menghidupkan kembali semangat domein verklaring khas aturan kolonial.
"Masyarakat kehilangan hak partisipasi dan jalur upaya hukum untuk mempertahankan tanah yang mereka kuasai," beber Arip.
FRI memaparkan 12 alasan menolak Omnibus Law RUU Cilaka. Seperti penyusunan RUU Cilaka cacat prosedur karena dilakukan secara tertutup, satgas omnibus law bersifat elitis, sentralisme kewenangan yaitu kebijakan ditarik ke pemerintah pusat yang mencederai semangat reformasi dan celah korupsi melebar akibat mekanisme pengawasan yang dipersempit dan penghilangan hak gugat oleh rakyat.
"Menerapkan perbudakan modern lewat sistem fleksibilitas tenaga kerja berupa legalisasi upah di bawah upah minimum, upah per jam, dan perluasan kerja kontrak-outsourcing," tegas Arip.
Tergabung dalam FRI sebanyak 40 organsisai masyarakat, seperti Konfederasi Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI), Pergerakan Pelaut Indonesia, Federasi Pekerja Pelabuhan Indonesia, LBH Jakarta, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Universitas Kristen Indonesia, YLBHI, ICEL, WALHI, GREENPEACE, KIARA dan Pusat Studi Agraria (PSA) IPB.(dtk)