GELORA.CO - Kasat Reskrim Polres Jaksel AKBP Andi Sinjaya Ghalib diperiksa Porpam soal isu pemerasan Rp 1 miliar terhadap pelapor kasus. Pelapor bernama Budianto membantah pelaku pemerasan adalah Andi Sinjaya, melainkan seorang makelar kasus (markus) yang mencatut nama Kasat Reskrim Jaksel.
Ditemui di kawasan Kuningan, Mampang Prapatan, Jakarta Selatan, Budianto menyebut ada kesalahan informasi yang tersebar soal pemerasan tersebut. Budianto menyebut, pelaku pemerasan sebetulnya adalah seorang markus, bukan dari institusi Polri.
"Sebetulnya itu ndak ada (AKBP Andi Sinjaya memeras, red)," kata Budianto kepada detikcom, Selasa (14/1/2020).
Budianto menceritakan, awalnya dia didekati oleh markus tersebut. Markus itu mencoba meyakinkan dirinya bisa menyelesaikan kasus yang dia laporkan di Polres Jakarta Selatan.
"Karena perkara ini sudah cukup lama, itu ada beberapa makelar kasus ya, markus yang menawarkan saya bahwa mereka dapat membantu dari atas sampai ke bawah dan membuat saya percaya," kata Budianto.
Adapun, perkara yang dilaporkan oleh Budianto adalah pengrusakan di sebidang lahan di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan. Kasus itu dilaporkan pada Maret 2018 dan sudah dinyatakan lengkap oleh kejaksaan (P21).
Namun hingga saat ini, tersangka dalam kasus itu tidak kunjung dilimpahkan tahap 2 ke kejaksaan. Singkat cerita, Budianto berkenalan dengan makelar kasus berinisial A yang mengaku-aku bisa membantu menuntaskan kasus itu.
"Tahun 2018 lah (kenal A). Saat itu sudah ada tersangka dan saya kenal markus ini 1 Desember 2018 dan saat itu markus ini menjanjikan bisa menyelesaikan," kata Budi.
"Kalau kamu bisa sediakan Rp 1 M nanti saya bilang Pak Kasat," kata Budi menirukan pembicaraannya kala itu dengan A.
Dengan bermodal foto profil di WhatsApp bersama dengan seorang perwira polisi, A terus membujuknya. Dia juga semakin yakin setelah diajak A ke Polres Jaksel.
"Karena dia undang saya ke Polres, jadi bagaimana saya nggak percaya," kata Budi.
Meski begitu, Budianto mengaku tidak pernah memberikan uang yang diminta markus tersebut. Sampai akhirnya, Budianto merasa kesal karena kasusnya sudah bertahun-tahun tidak ada progres, dia kemudian menghubungi Ketua Presidium IPW Neta S Pane melalui telepon dan dengan suasana hati yang emosi. Dia menceritakan soal pemerasan itu namun dia mengaku tidak menceritakan secara utuh kejadian itu kepada Neta.
"Saya marah kasusnya lama dan begitu saya tanpa sengaja saya bicara ke Neta bahwa ada permintaan uang. Tapi saya sama Neta nggak ngomong detail karena di telepon. 'Bang saya dimintai penyidik Rp 1 M' saya bilang begitu, tapi memang bukti si markusnya kan ada yang dia meyakinkan saya itu," papar Budi.
"Saya apresiasi itu karena dengan Neta saya telepon dengan emosi. Karena saya emosi sekali akhirnya ada koreksi. Tapi kan memang Neta dengar dari saya nggak utuh karena Neta nggak tahu bukti-bukti ini," sambungnya.
Atas kesalahan informasi ini, Budianto pun dimintai keterangan Propam Polda Metro Jaya. Dalam kesempatan itu, Budianto menjelaskan secara gamblang terkait kronologi pemerasan itu. Dia juga akan mengoreksi pernyataannya kepada Neta S Pane.
Budianto justru mengapresiasi AKBP Andi. Sebab, baru di bawah kepemimpinan Andi Sinjaya, kasusnya itu membuahkan progres, meski polisi belum bisa melimpahkan tersangka lantaran tersangka tidak diketahui keberadaannya.
"Saya mengapresiasi yang sudah dilakukan oleh Pak Kasat sekarang karena saat kemarin jumpa sama saya Pak Kasat sampaikan sudah ada Sprinkap-nya (Surat Perintah Penangkapan)," kata Budi.
Budianto pun meminta maaf atas kesalahan informasi tersebut.
"Jadi saya atas pribadi saya minta maaf karena saya nggak menyangka bahwa secara emosional dampak si markus ini saya harus melaporkan ke Kapolda dan itu nggak utuh," pungkas Budi.[dtk]