GELORA.CO - Hubungan Amerika Serikat (AS) dan Iran tengah membara. Serangan AS yang membunuh Mayor Jenderal Qasem Soleimani mencuatkan isu World War 3 atau Perang Dunia Ketiga.
Soleimani yang merupakan Komandan Pasukan Quds pada Garda Revolusi Iran tewas setelah serangan udara AS pada Jumat (3/1) pagi. Serangan itu diarahkan ke area dekat kargo di Bandara Baghdad.
Serangan udara AS itu, menurut para pejabat Irak, juga menewaskan seorang pria bernama Abu Mahdi al-Muhandis yang menjabat wakil komandan dari kelompok milisi pro-Iran di Irak bernama Pasukan Mobilisasi Populer (PMF). PMF menyebut ada tujuh orang tewas akibat serangan udara AS tersebut.
Seperti dikutip Associated Press, salah satu pejabat keamanan Irak menyebut Al-Muhandis tiba di bandara Baghdad dalam konvoi bersama anggota milisi lainnya untuk menyambut Soleimani, yang pesawatnya baru saja mendarat dari Lebanon atau Suriah.
Dua pejabat dari PMF, seperti dilansir Associated Press, menyebut bahwa jasad Soleimani terkoyak akibat serangan udara AS itu, sedangkan jasad Al-Muhandis belum ditemukan. Menurut seorang pejabat senior Irak, jasad Soleimani berhasil diidentifikasi dari cincin yang dipakainya.
Presiden AS Donald Trump dalam pernyataan yang disiarkan televisi dari Florida pada Jumat (3/1) waktu setempat mengatakan serangannya yang menewaskan Soleimani untuk menghentikan perang.
"Soleimani merencanakan serangan segera dan jahat terhadap para diplomat dan personel militer Amerika tapi kita menangkapnya saat beraksi dan mengakhirinya," ucap Trump kepada wartawan di resor Mar-a-Lago miliknya di Florida.
Trump menyebut Soleimani sebagai sosok kejam yang 'menjadikan kematian orang-orang tak bersalah sebagai keinginannya yang sakit'. "Kita merasa nyaman bahwa kekuasaan terornya telah berakhir," imbuhnya.
Setelahnya pada Minggu (5/1) dua peluru mortir menghantam Zona Hijau di ibu kota Irak dan dua roket menghantam pangkalan yang menampung pasukan AS. Serangan itu terjadi sehari setelah serangan mematikan pada Soleimani.
Zona Hijau merupakan daerah kantong berkeamanan tinggi tempat kedutaan besar AS. Militer Irak mengatakan bahwa satu proyektil menghantam zona itu, sementara yang lain mendarat dekat dengan daerah itu. Sirine terdengar di kompleks AS, sumber di sana mengatakan kepada AFP.
Sepasang roket Katyusha kemudian menghantam pangkalan udara Balad di utara Baghdad, tempat pasukan AS berpangkalan. Sumber keamanan di sana melaporkan sirene menggelegar dan mengatakan pesawat pengintai dikirim di atas pangkalan untuk menemukan sumber roket.
Rupanya serangan tidak hanya terjadi di dunia nyata. Peretas turut beraksi di dunia maya. Sebuah situs milik pemerintah AS diretas oleh kelompok peretas atau hacker yang mengaku mewakili pemerintahan Iran.
Situs yang diretas itu milik Federal Depository Library Program (FDLP), sebuah program yang dibuat untuk menyediakan publikasi pemerintah federal AS untuk publik. Situs tersebut diubah tampilannya (deface) dan kemudian dibuat tak bisa diakses oleh publik.
FDLP ini adalah program milik Goverment Publishing Office (GPO) milik pemerintah AS. Tujuan program ini adalah untuk mempublikasikan dokumen dan informasi milik pemerintah AS ke publik.
Si hacker meninggalkan pesan di situs tersebut, yang kurang lebih isi pesannya berisikan pernyataan yang menyebut situs tersebut diretas oleh Iran Cyber Security Group Hacker. Mereka pun menyebutkan kalau ini hanyalah sebagian kecil dari kemampuan perang siber Iran.
Di sisi lain Trump memberi peringatan. Dia menargetkan 52 situs di Iran dan akan menghantamnya dengan 'sangat cepat dan sangat keras' jika republik itu menyerang personel atau aset Amerika.
Trump mengatakan, beberapa dari situs tersebut "pada tingkat yang sangat tinggi & penting bagi Iran & budaya Iran, dan target-target itu, dan Iran itu sendiri, AKAN DIHANTAM SANGAT CEPAT DAN SANGAT KERAS. AS tidak menginginkan ancaman lagi!"(dtk)