GELORA.CO - Tertangkapnya komisioner KPU wahyu Setiawan oleh KPK yang menjanjikan pergantian antarwaktu (PAW) kepada Harun Masiku salah satu celeg DPR PDIP dapil Sumatera Selatan I dengan cara suap, mencoreng lembaga penyelenggara pemilu.
Ketua Asosiasi Ilmuwan Praktisi Hukum Indonesia (Alpha) Azmi Syahputra menyesalkan, seoarang Wahyu yang belasan tahun jadi organ penyelenggara pemilu saja masih rentan terkecoh dan terima suap, bagaimana yang lain. Integritas dan independensi yang digemborkan menjadi runtuh.
Menurutnya, pintu masuk kejadian ini adalah produk keputusan dalam KPU sendiri.
Jika benar dan sudah final dalam rapat pleno dinyatakan nama seseorang sebagai PAW berdasarkan regulasi dan fakta, dimana pleno KPU telah menetapkan Riezky Aprilia (suara terbanyak kedua) sebagai pengganti alm. Nazarudin Kiemas, terus kenapa komisioner masih "mau berani mengubah", "mau diakali" dan dijanjikan pada Harun.
"Ini masalah utamanya. Artinya, keputusan di KPU masih bisa ditawar atau berubah?" sebut Azmi.
Keputusan KPU tidak bisa diambil salah satu komisioner, karena harus rapat dengan lima komisioner dan minimial disetujui empat komisioner. Karena sudah ada keputusan pleno, sifat keputusan itu sekali selesai, apalagi yang ditujukan pada individual (otomatis PAW jatuh pada nama caleg suara terbanyak berikutnya), prosedur dan mekanismenya demikian.
"Jadi final dan konkrit, tentunya karena sudah tahu demikian, Wahyu Setiawan sebagai komisioner tidak bisa main sendiri?" ujar Azmi.
Karenanya, patut diduga ada keikutsertaan komisioner lain, karena dia tidak mungkin dapat merubah keputusan dalam pleno sendiri. Harus ada peran dan persetujuan komisioner yang lain. Keputusan di KPU itu sifatnya kolektif kolegial.
Lagi-lagi setelah OTT terbuka motifnya bahwa semua dapat dilakukan oleh Wahyu karena ada permintaan uang senilai Rp 900 juta sebagai uang operasional guna membantu dalam mewujudkan PAW Harun.
"Inilah yang diduga akan dikemas oleh yang bersangkutan pada anggota komisoner lain atau pada pihak yang dianggap terkait dalam pengurusan PAW sehingga muncul permintaan uang operasional, saya menyebutnya "proyek ongkos", "penipu kena tipu" ya jadilah OTT ini," tutur Azmi.
Nilai uang yang disepakati dan komitmen menjanjikan ini, harus dikejar dan digali oleh penyidik termasuk hasil rapat pleno KPU, dokumen rapat dan daftar hadir rapat KPU dan dukungan administrasi sekretariat. Disinilah menunjuklan bahwa perbuatan ini dilakukan dengan unsur kesengajaan, karena perbuatan tersebut dilakukan secara sadar dan tahu resiko termasuk adanya dugaan tindak pidana penyertaan karena pekerjaan ini baru bisa terjadi kalau ada dukungan atau keterlibatan dari unsur komisioner KPU lain.
"Jadi penyidik harus mengejar pelaku orang yang punya keinginan yang sama atau orang menyuruh melakukan, dan orang-orang yang turut serta dalam perkara suap ini demi menjaga kemandirian dan integritas, jujur dan adil lembaga KPU," demikian Azmi Syahputra. (*)