Kalau membicarakan korupsi di Indonesia rasanya nongkrong di angkringan atau warung kopi sampai satu minggu juga tidak akan habis dikupas. Apalagi kalau sambil membicarakan printilan dari pelaku korupsi itu, seperti jumlah rekeningnya yang sudah pasti gendut atau jumlah mobilnya yang pasti garasi satu kompleks tidak akan muat diisi sekian banyak mobil buat satu rumah.
Membicarakan lucunya kasus korupsi di Indonesia, penangkapan yang dilakukan oleh KPK terhadap komisioner KPU Wahyu Setiawan bersama asistennya Wahyu Tonidaya di Bandara Soekarno-Hatta.
Lucu sekali memang, sudah isu penyelengaraan Pilpres yang terus dirasani masyarakat tidak jelas sampai sekarang ini malah ditangkap, di bandara pula.
Masyarakat yang melihat penangkapan itu di media massa jadi bertanya-tanya mau apa di bandara dan mau pergi ke mana. Apa jangan-jangan mau naik pesawat atau mau sekadar petak umpet ? Kalo saya sih postitive thinking saja siapa tau mau nongkrong atau sekadar ngopi.
Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang dilakukan KPK ini dilakukan karena adanya informasi terkait dugaan permintaan uang dari Wahyu kepada Agustiani Tio Feidelina, mantan anggota Badan Pengawas Pemilu yang juga merupakan orang kepercayaan Wahyu.
Dari penangkapan tersebut dengan sigap KPK langsung mengamankan uang senilai 400 juta dalam bentuk Dolar Singapura (SGD) dan buku rekening yang terduga terkait perkara. Uang tersebut sejatinya akan diduga adalah suap terhadap Wahyu terkait penetapan anggota DPR (Kompas, 09/01/2020).
Ternyata eh ternyata kinerja KPU saat penyelenggaraan Pemilihan Umum (2019) lalu yang dipertanyakan banyak pihak bisa saja ada benarnya. Kasus yang melibatkan komisioner KPU dengan cepat melebar pada kasus suap pergantian antar waktu (PAW) anggota DPR periode 2019-2024 yang melibatkan Komisioner KPU Wahyu Setiawan dan eks caleg PDI-P Harun Masiku.
Dalam tempo yang sesingkat-singkatnya KPK langsung menetapkan empat orang tersangka dalam kasus ini, yaitu Komisioner KPU Wahyu Setiawan, eks caleg PDI-P Harun Masiku, eks anggota Bawaslu Agustiani Tio Fridelina, dan seorang pihak swasta bernama Saeful.
Tidak kalah mengagetkan ternyata ada pihak swasta yang bermain di kasus tersebut. Memang penjelasan Dandhy Dwi Laksono dalam bukunya Indonesia for Sale tidak menutup kemungkinan swasta juga melakukan korupsi. Bahkan, bisa saja jumlah korupsi swasta lebih besar karena tidak dijangkau seara langsung oleh lembaga antirasuah semacam KPK.
Kembali ke laptop-maksudnya kasus-tidak tanggung-tanggung di luar kasus sebelumnya Wahyu Setiawan menerima uang sebesar 600 juta dari sumber yang tidak diketahui dan 900 juta untuk meloloskan pengajuan PAW Harun Masiku (Kompas, 29/01/2020).
Untuk orang tidak punya uang banyak sepertiku memang tidak habis pikir bisa-bisanya ada suap yang nilainya di atas 1 miliar. Daripada uang sebesar itu dipakai buat suap lebih baik buat bayar UKT saya. Uang Kuliah Tunggal (UKT) saat ini memang dirasakan sangat berat sehingga tidak heran mobilitas sosial orang menengah ke bawah sangat sulit karena tidak bisa mendapatkan akses pendidikan tinggi yang mudah dan terjangkau.
Praktis, setelah penetapan tersangka itu Harun Masiku seharusnya cepat ditangkap. Tetapi kenyataannya, pada Kamis (16/01/2020) Harun Masiku sudah dinyatakan kabur ke luar negeri oleh Ditjen Imigrasi dan sontak langsung membuat geger masyarakat (Mojok/29 Januari 2020).
Mendengar kabar seperti itu seketika flashback pada kasus BLBI yang melibatkan Sjamsul Nursalim yang membuat negara rugi sebanyak Rp. 4,58 Trilyun. Lebih dari itu, hingga tulisan ini dibuat Sjamsul masih masuk Daftar Pencarian Orang (DPO) dan masih berkeliaran di Singapura, bisa jadi Sjamsul selama ini masih melihat berita Indonesia dan bisa jadi tertawa terbahak-bahak melihat banyak sekali penerusnya-untuk selanjutnya cara seperti itu bisa saya sebut sebagai Nursalimisme.
Tidak berselang lama Tempo langsung melakukan investigasi dan hasilnya adalah Harun Masiku sudah kembali ke Indonesia pada 6 Januari atau satu hari sebelum OTT KPK (Tempo, 19/01/2020). Dengan adanya temuan tersebut, Ditjen Imigrasi langsung melakukan ralat dan mengaku ada delay informasi di server pusat data keimigrasian.
Tidak cukup sampai di situ, pada 28 Januari Ronny Sompie langsung dicopot dari jabatannya oleh Menteri Yasonna Laoly. Padahal, kenapa tidak Menteri Yasonna yang dicopot juga ya? Padahal ada kabar menkumham terlibat juga dalam upaya mengalangi penangkapan Harun.
Dengan adanya temuan tersebut apakah KPK berhenti ? sepertinya KPK tetap tancap gas dengan mengejar Harun ke berbagai tempat, bahkan sudah dikejar ke Sulawesi dan Sumatera dengan dibantu polisi tetapi tidak kunjung ketemu juga (Sindo, 27/01/2020).
Bahkan, kabar terbaru dalam melakukan pencarian terhadap Harun ketua dua politikus Partai Demokrat, Andi Arief dan Rachland Nashidik hendak melakukan pencarian juga ke Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK). Diduga Harun berada di kampus polisi itu pada saat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menggelar rangkaian operasi tangkap tangan pada 8 Januari 2020.
Di luar kebingungan kita sebagai masyarakat awam ternyata politikus kita masih memiliki jiwa anak-anak yang masih melekat. Lihat saja betapa kusutnya benang merah kasus ini sehingga harus ada permainan petak umpet cari tersangka sampai keliling Indonesia segala.
Di luar itu, ternyata politisi Indonesia masih banyak yang berjiwa kanak-kanak. Sayangnya, penulis tidak mahir main petak umpet jadi kalau terlibat kasus korupsi pasti langsung tertangkap.[vv]