GELORA.CO - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menegaskan bakal memanggil siapa saja yang terlibat dalam perkara korupsi yang menyeret bekas Komisioner KPU Wahyu Setiawan.
Termasuk menurut Wakil Ketua KPK Nawawi Pomolango, Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto.
"Tentu saja, siapa saja dari temuan yang ada, yang relevan terkait, kami pastikan akan panggil," katanya seperti melansir tempo.co.
Dalam perkara ini, KPK telah menetapkan mantan Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Wahyu Setiawan, caleg PDIP Harun Masiku, mantan anggota Badan Pengawas Pemilu Agustiani Tio Fridelina, dan Saefulah yang disebut sebagai swasta, menjadi tersangka.
Wahyu diduga menerima suap dari Harun Masiku agar meloloskannya menjadi anggota DPR lewat jalur PAW.
Sementara untuk dugaan keterlibatan Hasto, seperti dikutip dari Majalah Tempo edisi 11 Desember 2020 bertajuk "Di Bawah Lindungan Tirtayasa", pangkal kasus ini bermula ketika Hasto memerintahkan tim hukum partai banteng dengan memberi kuasa kepada Donny Tri Istiqomah untuk mengajukan gugatan ke Mahkamah Agung pada Juni 2019.
Mereka menggugat materi Pasal 54 Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 3 Tahun 2019 tentang pemungutan dan penghitungan suara berkaitan dengan meninggalnya calon legislatif dari daerah pemilihan Sumatera Selatan I atas nama Nazaruddin Kiemas.
Mahkamah Agung mengabulkan sebagian permohonan uji materi Pasal 54. Inti putusan itu, mahkamah menyerahkan suara calon legislatif yang meninggal ke partai.
Atas kemenangan gugatan tersebut, Harun diduga memberi uang ke Donny sejumlah Rp 100 juta.
PDIP kemudian menggelar rapat pleno dan terpilihlah Harun sebagai pengganti Nazarudin Kiemas.
Padahal, Harun berada di urutan kelima. Sedangkan urutan kedua yang berhak mewarisi kursi parlemen almarhum Nazaruddin adalah Riezky Aprilia.
KPU menggelar pleno untuk menetapkan calon legislatif terpilih periode 2019-2024 itu pada 31 Agustus.
Bukan Harun sebagaimana surat rekomendasi dari PDI Perjuangan, KPU malah menetapkan Riezky yang berhak duduk di kursi parlemen.
Tak terima dengan keputusan KPU, PDIP kembali mengajukan permohonan fatwa Mahkamah Agung.
Pada 23 September, partai banteng mengirim surat lagi ke KPU yang berisi mengenai penetapan calon legislatif yang meninggal merupakan kewenangan partai politik.
“Kami tiga kali menerima surat dari PDI Perjuangan," ujar Ketua KPU Arief Budiman.
Masih dikutip dari Majalah Tempo, tak hanya jalur resmi melalui surat, Hasto diduga memerintahkan salah satu stafnya, Saeful Bahri, untuk bermanuver melobi KPU.
Saeful lantas menghubungi orang kepercayaan Wahyu Setiawan, Agustiani Tio Fridelina Sitorus, mantan Anggota Badan Pengawas Pemilu.
Saeful mengirim dokumen penetapan calon legislatif dan fatwa MA. Tio kemudian meneruskan dokumen itu ke Wahyu melalui pesan WhatsApp agar membantu proses penetapan Harun.
Wahyu pun membalas pesan Tio, “siap mainkan.”
Belakangan, Wahyu meminta imbalan untuk operasional sebesar Rp 900 juta.
“Saeful mengatakan ke Hasto bahwa butuh Rp 1,5 miliar untuk lobi KPU,” ujar penegak hukum yang mengetahui kasus ini.
Hasto juga diduga tahu ada permintaan dari Tio kepada Saeful soal uang muka untuk lobi.
“Hasto bilang siap menyediakan dana. Harun juga akan menyediakan dana karena dia caleg yang berkepentingan,” ujar tiga penegak hukum yang mengetahui proses ini.
Belakangan salah satu ajudan Hasto menyerahkan uang sebesar Rp 400 juta kepada Donny di salah satu ruang DPP PDI Perjuangan pada 16 Desember 2019.
Ajudan itu sembari menyampaikan, “Mas, ini perintah dari Sekjen untuk operasional Saeful Bahri.”
Hasto membantah terlibat dalam perkara ini. Ia menuturkan sejumlah informasi yang mengaitkan dirinya dengan operasi tangkap tangan terhadap Wahyu cs ini sebagai pembingkaian alias framing.
“Dengan berita ini menunjukkan adanya berbagai kepentingan untuk membuat framing,” kata Hasto di arena Rakernas I PDI Perjuangan di Jiexpo Kemayoran, Jakarta Pusat, Jumat, 10 Januari 2020.[ljc]