GELORA.CO - Indonesia Corruption Watch menilai ada upaya pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi dengan menghalang-halangi proses hukum kasus korupsi yang menjerat Komisioner Komisi Pemilihan Umum Wahyu Setiawan dan kader PDIP Harun Masiku.
Peneliti ICW Kurnia Ramadhana meminta pimpinan KPK memerintahkan jajarannya untuk menggunakan pasal 21 atas upaya menghalang-halangi proses hukum tersebut.
"Ketika KPK berupaya melakukan tindakan pro justicia dan ada pihak-pihak yang menghalangi, pimpinan KPK segera memerintahkan jajarannya untuk menggunakan pasal 21 soal menghalang-halangi proses hukum. Jadi tidak ada yang bisa menghalang-halangi proses hukum yang telah dijalankan KPK," kata peneliti Kurnia Ramadhana, saat menggelar diskusi pemberantasan korupsi di Makassar, Senin, 13 Januari 2020.
Sementara itu, Kurnia menilai ada indikasi pimpinan PDIP untuk melindungi kader yang diduga terlibat. Salah satu upaya penghalangan itu adalah menghalangi KPK melakukan penggeledahan di kantor PDIP.
Sumber masalahnya adalah Undang-undang KPK yang baru, yang mengharuskan penggeledahan dengan izin pengadilan. Sebelum Undang-undang KPK yang baru berlaku, penggeledahan bisa dilakukan cepat tanpa harus izin pengadilan negeri dulu.
"Tapi, hari ini justru Dewan Pengawas itu sendiri yang menjadi hambatan utama dari proses penegakan hukum di KPK. Jadi, PDIP harusnya bisa memberikan data terkait yang relevan kepada KPK dan kooperatif jika ada pihak-pihak diduga terlibat untuk kooporatif terhadap penegakan hukum yang sedang berjalan di KPK," ujar Kurnia.
Tak hanya itu, Kurnia juga meminta kepada Sekjen PDIP Hasto Kristyanto untuk kooperatif jika dipanggil oleh penyidik KPK terkait kasus suap yang melibatkan Harun Masiku.
"Kalau memang KPK memandang ada dugaan keterlibatan, saya rasa yang bersangkutan juga harus kooporatif jika nantinya dipanggil sebagai saksi harus hadir. Tapi ini kan penilaian subjektif daripada KPK yang mengetahui detail perkaranya. Jadi, siapa pun Hasto dan lain-lain yang dipandang KPK perlu keterangannya terkait dengan kasus tersebut, harus hadir ketika dipanggil oleh KPK," ujar Kurnia.
Melihat kondisi ini, ICW menilai indikasi pelemahan pemberantasan korupsi sangat kuat. Penggeledahan baru bisa dilakukan pekan depan atas izin Dewan Pengawas. Bisa jadi pelaku korupsi akan berupaya untuk menyembunyikan atau menghilangkan barang bukti.
"Iya, indikasi pelemahan sangat kuat. Dari isu penggeledahan dan dari sisi Dewan Pengawas. Bahkan, kemarin diberitakan pekan depan dilakukan penggeledahan. Ini kan konyol. Karena pelaku korupsi akan berupaya untuk menyembunyikan atau bahkan menghilangkan barang bukti tersebut. Hari ini membuktikan bahwa narasi penguatan yang selama ini diucapkan oleh Jokowi dan DPR itu omong kosong," ungkap Kurnia.
"Tidak membuahkan hasil seperti apa yang mereka sampaikan. KPK melambat, penegakan hukum di KPK tersendat karena adanya Undang-undang KPK yang baru. Sehingga kita penting untuk melakukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi," tegasnya.
ICW mencatat 15 poin potensi pelemahan KPK dalam UU KPK yang baru. Di antaranya, adanya Dewan Pengawas, KPK berhak mengeluarkan SP3, dan alih status sebagai ASN. Hal ini, kata Kurnia, sebuah rangkaian yang memang dirancang langsung oleh pemerintah dan DPR-RI untuk melumpukan daripada lembaga KPK.(*)