GELORA.CO - Uang suap sebesar Rp. 900 juta yang diminta tersangka Komisioner KPU Wahyu Setiawan tidak dimungkin untuk satu orang.
"Tidak mungkin uang sebanyak itu untuk sendiri. Sekali lagi, apa mungkin dia (Wahyu Setiawan) seorang yang bisa memutuskan?" kata Ketua GNPF Ulama Kota Binjai, Sani Abdul Fattah seperti dilansir dari Kantor Berita RMOLSumut, Sabtu (11/1).
OTT yang dilakukan KPK kepada salah seorang komisioner KPU pusat itu secara alamiah menyegarkan ingatan publik pada pemilihan presiden 2019.
"Ini bukan dibuat-buat, ini alamiah. OTT itu secara tak sadar mengingatkan kita kepada indikasi kecurangan pada Pilpres lalu," ujar Sani.
Dia juga mengatakan, tertangkapnya Wahyu menjadi bukti bahwa ada hubungan mesra antara komisioner KPU dengan PDIP yang pada 2019 lalu menjadi pengusung utama Joko Widodo.
"Tertangkapnya si komisioner ini menjadi bukti bahwa hubungan antara KPU dengan PDIP sangat mesra sekali," lanjut Sani.
Banyaknya kejanggalan pada tahapan dan proses pilpres, lanjut Sani, menjadi bukti adanya hubungan terlarang antara penyelenggara dan peserta pemilu.
"Dimulai dari kasus surat suara di dalam kontainer itu lah, penghitungan data yang entah bagaimana, enggak becus lah, pengumuman pemenang pilpres tengah malam lah, padahal masih banyak penghitungan yang belum selesai, bahkan yang paling aneh dimulai dari kotak surat suara yang dari kardus dan masih banyak lagi. Ada perselingkuhan antara PDIP dan KPU," tutur Sani.
"Dengan banyaknya problem-problem seperti ini, maka wajar jika kasus tertangkapnya komisioner ini melebar menjadi tuntutan pembubaran PDIP," imbuhnya menambahkan.
Indikasi lain, lanjut Sani, yang juga Ketua Satgas Anti Narkoba (SAN) Kota Binjai ini, selama ini, PDIP dinilai sebagai parpol yang getol membonsai KPK.
"Kan selama ini PDIP memang partai yang paling getol melemahkan KPK dengan begitu serius dan terus-menerus ingin merevisi UU KPK. PDIP juga masuk dalam daftar parpol yang 'produktif' menghasilkan koruptor," tutupnya. (*)