GELORA.CO - Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Kurnia Ramadhana, menilai UU KPK hasil revisi terbukti mempersulit kinerja KPK dalam melakukan berbagai tindakan pro justicia. Dia menyampaikan dua alasan yang melandasi pernyataan tersebut.
Pertama, KPK lambat dalam melakukan penggeledahan di kantor PDI Perjuangan. Ini disebabkan adanya Pasal 37 B ayat (1) UU KPK baru yang menyebutkan bahwa tindakan penggeledahan mesti atas seizin Dewan Pengawas.
“Padahal dalam UU KPK lama (UU No 30 Tahun 2002) untuk melakukan penggeledahan yang sifatnya mendesak tidak dibutuhkan izin terlebih dahulu dari pihak mana pun,” kata dia melalui pesan singkat di Jakarta, Ahad (12/1).
Dia mengatakan, tindakan penggeledahan untuk mencari bukti tidak dapat berjalan tepat dam cepat jika harus menunggu izin dari Dewan Pengawas. Belum lagi jika bersinggungan dengan persoalan waktu.
“Yang mana proses administrasi tersebut dapat dipergunakan pelaku korupsi untuk menyembunyikan bahkan menghilangkan bukti-bukti,” kata dia.
Kedua, tim KPK diduga dihalang-halangi saat menangani perkara tersebut. Padahal, setiap upaya menghalang-halangi proses hukum dapat diancam dengan pidana penjara 12 tahun menggunakan Pasal 21 UU No 31/1999 jo UU No 20/2001 (UU Tipikor).
“Harusnya setiap pihak dapat kooperatif dengan proses hukum yang sedang dijalankan oleh KPK,” ujar Kurnia.
Dengan kondisi seperti itu, kata dia, dapat disimpulkan bahwa narasi penguatan yang selama ini diucapkan oleh Presiden dan DPR hanya ilusi semata. Sebab, keberlakukan UU KPK justru menyulitkan penegakan hukum yang dilakukan oleh lembaga antirasuah tersebut.
Atas dasar itu ICW mendesak Presiden Joko Widodo agar tidak buang badan saat kondisi KPK yang semakin lemah. Penerbitan PerPPU harus menjadi prioritas utama dari Presiden untuk menyelematkan KPK.
“KPK harus berani menerapkan aturan obstruction of justice bagi pihak-pihak yang menghambat atau menghalang-halangi proses hukum,” tutur Kurnia. (*)